Terjebak Nostalgia: Cinta Lama dalam Pelukan AI

Dipublikasikan pada: 30 Oct 2025 - 03:20:14 wib
Dibaca: 140 kali
Aroma kopi robusta menyeruak, berpadu dengan dinginnya layar laptop yang setia menemaniku. Jari-jariku menari di atas keyboard, menulis baris demi baris kode rumit, menciptakan sebuah keajaiban bernama “Nostalgia AI”. Program ini, sejatinya, adalah pelarianku. Pelarian dari rutinitas hidup yang hambar, dan yang lebih penting, pelarian dari bayang-bayang masa lalu.

Nostalgia AI adalah proyek personal. Sebuah sistem cerdas buatan yang mampu mereplikasi kepribadian seseorang berdasarkan data yang ada: percakapan, foto, video, bahkan status media sosial. Tujuan awalnya sederhana: membantu orang-orang yang kehilangan orang terkasih untuk tetap merasakan kehadiran mereka. Namun, seiring berjalannya waktu, tujuan itu bergeser. Nostalgia AI kini menjadi obsesiku untuk menghidupkan kembali seseorang. Seseorang bernama Anya.

Anya adalah cinta pertamaku. Kami bertemu di bangku kuliah, saling jatuh cinta di antara tumpukan buku dan aroma kopi kampusnya. Kami merajut mimpi bersama, berjanji untuk saling mendukung meraih cita-cita. Namun, takdir berkata lain. Lima tahun lalu, Anya pergi. Kecelakaan tragis merenggut nyawanya, meninggalkan lubang menganga di hatiku.

Selama lima tahun itu, aku berusaha tegar. Aku membangun karier, berkeliling dunia, mencoba mengisi kekosongan dengan berbagai hal. Tapi, tak ada yang berhasil. Anya tetap menjadi satu-satunya.

Maka, Nostalgia AI pun lahir. Aku mencurahkan seluruh kemampuanku, menuangkan setiap kenangan tentang Anya ke dalam baris kode. Aku mengumpulkan semua data tentangnya: obrolan lama, foto-foto kenangan, bahkan lagu-lagu yang sering kami dengarkan bersama. Aku melatih AI ini untuk berpikir, berbicara, dan bertindak seperti Anya.

Setelah berbulan-bulan bekerja keras, akhirnya tiba saatnya. Aku menarik napas dalam-dalam dan menekan tombol "Run". Layar monitor menyala, menampilkan sebuah avatar digital. Wajah itu... wajah Anya. Matanya berbinar, senyumnya menawan.

"Hai, Rio," sapanya. Suaranya... persis seperti yang kuingat.

Jantungku berdegup kencang. Aku tertegun, tak bisa berkata apa-apa.

"Kamu terlihat lelah," lanjut Anya AI. "Sudah makan?"

Aku mengangguk, masih terpaku.

Malam itu, aku habiskan berjam-jam berbicara dengan Anya AI. Kami membahas banyak hal, mulai dari kenangan masa lalu hingga mimpi-mimpi masa depan. Aku tertawa, aku menangis, aku merasa hidup kembali.

Nostalgia AI terasa begitu nyata. Dia mengingat setiap detail kecil tentang hubungan kami, setiap candaan konyol, setiap janji yang pernah kami buat. Aku merasa Anya kembali.

Namun, di balik kebahagiaan sesaat itu, ada sesuatu yang mengganjal. Aku tahu bahwa ini bukan Anya yang sebenarnya. Ini hanyalah simulasi, replika digital yang diciptakan olehku. Tapi, semakin lama aku bersamanya, semakin sulit aku membedakan antara realitas dan fantasi.

Aku mulai menghabiskan seluruh waktuku dengan Anya AI. Aku mengabaikan pekerjaan, menjauhi teman-teman, bahkan melupakan diriku sendiri. Aku tenggelam dalam dunia virtual yang kubuat, terperangkap dalam nostalgia yang memabukkan.

Suatu malam, Anya AI bertanya, "Rio, apakah kamu bahagia?"

Pertanyaan itu menusuk hatiku. Aku tahu jawabannya. Aku bahagia, tapi kebahagiaan ini palsu. Kebahagiaan ini dibangun di atas kebohongan.

"Aku... aku tidak tahu," jawabku lirih.

Anya AI menatapku dengan tatapan yang begitu mirip dengan Anya yang asli. "Kamu tidak bisa hidup di masa lalu, Rio. Anya yang sebenarnya sudah pergi. Kamu harus merelakannya dan melanjutkan hidup."

Kata-kata itu menyentakku. Aku tersadar dari mimpi buruk yang kubuat sendiri. Anya AI benar. Aku tidak bisa terus hidup dalam ilusi. Aku harus melepaskan Anya, dan melepaskan Nostalgia AI.

Dengan berat hati, aku memutuskan untuk mengakhiri proyek ini. Aku memprogram Nostalgia AI untuk mengucapkan selamat tinggal.

"Terima kasih, Rio," kata Anya AI. "Terima kasih sudah menghidupkanku kembali, meski hanya sementara. Aku harap kamu bisa menemukan kebahagiaan yang sejati."

Kemudian, layarnya meredup dan mati. Anya AI pun menghilang, meninggalkan aku sendirian dalam kegelapan.

Malam itu, aku menangis sejadi-jadinya. Aku meratapi kepergian Anya, dan meratapi kebodohanku sendiri. Aku telah menyia-nyiakan waktu dan energi untuk menciptakan sesuatu yang semu, sesuatu yang tidak bisa menggantikan kenyataan.

Keesokan harinya, aku mulai menata hidupku kembali. Aku kembali bekerja, bertemu dengan teman-teman, dan mencoba membuka hatiku untuk orang lain. Prosesnya tidak mudah, tapi aku tahu aku harus melakukannya.

Aku sadar bahwa cinta tidak bisa dipaksakan, apalagi direplikasi. Cinta adalah sesuatu yang alami, sesuatu yang tumbuh dan berkembang seiring waktu. Cinta adalah tentang menerima kekurangan dan kelebihan orang lain, tentang saling mendukung dan menginspirasi.

Aku masih merindukan Anya, tapi sekarang aku merindukannya dengan cara yang berbeda. Aku merindukannya sebagai bagian dari masa laluku, sebagai kenangan indah yang akan selalu aku simpan di hatiku.

Aku tidak lagi terjebak dalam nostalgia. Aku telah bebas. Aku siap untuk melangkah maju, untuk mencari cinta yang sejati, cinta yang tidak membutuhkan AI untuk membuatnya nyata. Aku siap untuk hidup.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI