Jejak Digital Hati: Bisakah AI Menggantikan Ciuman?

Dipublikasikan pada: 10 Jun 2025 - 20:20:13 wib
Dibaca: 171 kali
Hembusan napas Maya terasa dingin di pipiku, padahal udara Jakarta malam itu begitu pengap. Di layar tabletnya, garis-garis kode program menari-nari, membentuk algoritma yang semakin lama semakin kompleks. Tangannya lincah mengetik, sesekali menggigit bibir bawahnya, tanda fokus yang berlebihan.

"Selesai!" serunya, matanya berbinar-binar. "Alpha Kiss 1.0 siap diuji coba."

Aku, Arya, hanya bisa menghela napas. Empat bulan terakhir hidupku didedikasikan untuk proyek gila ini, proyek yang dirancang Maya, pacarku yang jenius, untuk menciptakan simulasi ciuman virtual. Alasannya? Katanya, padatnya jadwal dan tekanan pekerjaan membuat kami jarang punya waktu untuk benar-benar terhubung secara fisik. Jadi, solusinya adalah AI.

"Maya, serius? AI menggantikan ciuman? Ini absurd," ujarku, berusaha menyembunyikan rasa kesal.

Dia terkekeh, wajahnya diterangi cahaya biru dari tablet. "Bukan menggantikan, Arya. Lebih tepatnya, melengkapi. Pikirkan ini sebagai 'bumbu' dalam hubungan jarak jauh, atau saat kita sama-sama kelelahan. Ini sentuhan virtual yang bisa disesuaikan dengan emosi dan keinginan kita."

Alpha Kiss 1.0 adalah alat kecil berbentuk oval, terbuat dari silikon lembut dengan sensor-sensor canggih di dalamnya. Alat ini terhubung ke aplikasi yang menganalisis data fisiologis penggunanya – detak jantung, suhu tubuh, ekspresi wajah – dan menerjemahkannya ke dalam serangkaian stimulasi yang meniru sensasi ciuman.

Awalnya, aku skeptis. Aku merindukan sentuhan nyata Maya, kehangatan bibirnya, aroma rambutnya. Tapi, Maya begitu bersemangat, dan aku tak tega mengecewakannya. Lagipula, aku seorang programmer juga. Aku mengerti logika di balik ini, walau secara emosional terasa hambar.

Malam itu, kami mencoba Alpha Kiss 1.0. Maya menjelaskan cara kerjanya dengan detail teknis yang membuatku pusing. Setelah memasang alat itu di bibir kami masing-masing, aplikasi mulai bekerja. Layar menampilkan grafik yang berfluktuasi, menggambarkan intensitas dan ritme "ciuman" virtual kami.

Rasanya... aneh. Sensasi getaran lembut di bibirku, kadang terasa hangat, kadang dingin. Algoritma berusaha meniru gerakan bibir, tekanan, bahkan sedikit gigitan nakal. Tapi, semua terasa mekanis, tanpa jiwa.

"Bagaimana?" tanya Maya, menatapku dengan penuh harap.

Aku ragu. "Ehm... unik. Tapi, tidak senyata yang kubayangkan."

Wajah Maya sedikit memudar. "Aku tahu ini belum sempurna. Tapi, aku akan terus memperbaikinya. Algoritmanya masih belajar."

Minggu-minggu berikutnya, Maya semakin tenggelam dalam proyeknya. Dia menghabiskan berjam-jam di depan komputer, menyempurnakan kode, menganalisis data, dan menguji Alpha Kiss 1.0 secara intensif. Aku merasa semakin jauh darinya. Dulu, kami sering menghabiskan waktu menonton film, memasak bersama, atau sekadar bercanda. Sekarang, waktu kami diisi dengan kode, algoritma, dan simulasi ciuman virtual yang terasa asing.

Aku mulai merindukan Maya yang dulu, Maya yang spontan dan penuh cinta. Maya yang akan tiba-tiba menciumku saat aku sedang bekerja, Maya yang akan menggenggam tanganku saat berjalan di taman. Maya yang sekarang, seolah-olah, mencoba memecahkan kode cinta, menganalisisnya, dan mereproduksinya secara digital.

Suatu malam, aku menemukannya tertidur di depan komputer, wajahnya pucat karena kelelahan. Di layar, grafik Alpha Kiss 1.0 berkedip-kedip. Aku mematikan komputer dan mengangkatnya ke tempat tidur. Saat aku menyelimutinya, aku merasakan dorongan kuat untuk menciumnya.

Aku membungkuk dan mencium bibirnya. Bukan ciuman simulasi, bukan ciuman algoritmik, tapi ciuman nyata. Kehangatan bibirnya terasa begitu berbeda, begitu hidup. Aku merasakan aroma parfumnya, sentuhan lembut kulitnya, dan detak jantungnya yang berirama.

Saat aku melepaskan ciuman itu, Maya membuka matanya. Dia menatapku dengan bingung, lalu tersenyum.

"Arya?"

"Ya, ini aku," jawabku, menggenggam tangannya.

"Apa yang terjadi?"

"Aku hanya... merindukanmu. Merindukan ciumanmu yang sebenarnya."

Maya terdiam sejenak, lalu menghela napas. "Aku tahu. Aku terlalu fokus pada proyek ini. Aku lupa apa yang benar-benar penting."

Kami berpelukan erat. Dalam pelukannya, aku merasakan kehangatan dan cinta yang tidak bisa direplikasi oleh algoritma mana pun. Aku menyadari bahwa teknologi memang bisa memudahkan hidup kita, tapi ada hal-hal yang tidak bisa digantikan oleh simulasi. Cinta, sentuhan, keintiman – semua itu membutuhkan kehadiran fisik, emosi yang tulus, dan koneksi yang nyata.

"Mungkin... kita harus berhenti sejenak dengan Alpha Kiss 1.0," usul Maya.

Aku tersenyum. "Mungkin... kita harus membuangnya saja."

Dia tertawa. "Jangan dibuang. Mungkin bisa kita sumbangkan ke museum teknologi di masa depan. Sebagai pengingat bahwa cinta sejati tidak bisa diprogram."

Malam itu, kami berbicara panjang lebar. Kami berbicara tentang impian kami, ketakutan kami, dan harapan kami untuk masa depan. Kami tertawa, menangis, dan saling mendukung. Kami terhubung kembali, bukan melalui teknologi, tapi melalui hati.

Keesokan harinya, Maya menutup proyek Alpha Kiss 1.0. Dia memutuskan untuk fokus pada hal-hal yang lebih penting: hubungan kami, impian kami, dan hidup kami yang nyata.

Aku tahu, jejak digital hati memang ada. Setiap pesan, foto, dan video yang kita bagikan, meninggalkan jejak emosi dan kenangan. Tapi, jejak digital itu hanyalah representasi, bukan pengganti. Cinta sejati tidak bisa dikodekan, dianalisis, atau disimulasikan. Cinta sejati hanya bisa dirasakan, dihidupi, dan dirayakan dalam setiap sentuhan, setiap tatapan, dan setiap ciuman. Dan itu, jauh lebih berharga daripada algoritma canggih sekalipun.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI