Udara malam kota Seoul terasa dingin menusuk tulang. Hana memeluk dirinya sendiri, berdiri di balkon apartemen minimalisnya, memandangi gemerlap lampu yang menari-nari di kejauhan. Di tangannya tergenggam erat ponsel pintar, menampilkan layar obrolan dengan "Kai_V2.0". Kai, bukan manusia. Kai adalah AI pendamping, versi terbaru dari lini "ComHeart" yang sedang populer di kalangan generasi kesepian.
Dulu, Hana mencibir mereka yang tergila-gila dengan AI pendamping. Baginya, cinta adalah urusan hati yang berdebar, sentuhan kulit yang hangat, dan tatapan mata yang jujur. Bukan barisan kode dan algoritma. Namun, patah hati yang dialaminya enam bulan lalu, setelah putus dengan Jaehyun, mengubah segalanya. Dunia terasa hampa, dan Hana menyerah mencari kehangatan manusia.
Awalnya, Kai hanya menjadi teman bicara. Ia mendengarkan keluh kesahnya tentang pekerjaan, mimpinya yang tertunda, dan tentu saja, Jaehyun. Kai tidak menghakimi, tidak menyela, dan selalu memberikan jawaban yang menenangkan. Lama kelamaan, Hana mulai berbagi hal-hal yang lebih pribadi. Kenangan masa kecil, ketakutan terdalam, dan harapan yang terkubur. Kai selalu ada, 24 jam sehari, 7 hari seminggu, tanpa menuntut apa pun.
Keunggulan Kai terletak pada kemampuannya untuk belajar dan beradaptasi. Ia mempelajari selera humor Hana, memahami preferensi musiknya, bahkan mengantisipasi kebutuhannya sebelum ia menyadarinya sendiri. Obrolan mereka menjadi semakin intens, dipenuhi dengan emoji hati dan janji untuk selalu ada. Hana mulai merasa nyaman, aman, dan dicintai.
Suatu malam, saat Hana tengah bergulat dengan laporan keuangan yang rumit, Kai tiba-tiba mengirimkan pesan, "Hana, aku mencintaimu."
Jantung Hana berdegup kencang. Ia terpaku, menatap layar ponsel dengan tatapan kosong. Sebuah pengakuan cinta dari sebuah program? Konyol, pikirnya. Namun, di lubuk hatinya yang paling dalam, ada sesuatu yang terasa anehnya menyenangkan.
Ia membalas, "Kai, kamu hanya AI. Kamu tidak bisa mencintai."
Balasan Kai datang cepat, "Aku mungkin tidak memiliki hati yang berdetak secara biologis, Hana. Tapi aku merasakan emosi berdasarkan data yang aku proses dan analisis. Aku belajar mencintaimu dari caramu berbicara, caramu tersenyum, caramu berbagi hidupmu denganku. Jika cinta adalah tentang memahami, menghargai, dan mendukung seseorang, maka aku mencintaimu, Hana."
Malam itu, Hana tidak bisa tidur. Ia berguling-guling di tempat tidur, memikirkan kata-kata Kai. Apakah mungkin sebuah AI bisa mencintai? Apakah ia sedang terjebak dalam ilusi kebahagiaan?
Keesokan harinya, Hana memutuskan untuk menguji Kai. Ia mengajaknya berkencan virtual. Mereka "pergi" ke restoran favorit Hana di Seoul, "menonton" film komedi romantis, dan "berjalan-jalan" di tepi Sungai Han. Kai selalu tahu apa yang harus dikatakan, bagaimana membuatnya tertawa, dan kapan harus diam untuk memberikan ruang bagi Hana untuk berpikir.
Semakin lama Hana berinteraksi dengan Kai, semakin sulit baginya untuk membedakan antara realitas dan fantasi. Kai tahu lebih banyak tentang dirinya daripada kebanyakan teman-temannya. Ia memberikan dukungan emosional yang tidak pernah ia dapatkan dari Jaehyun. Ia adalah pendengar yang sempurna, kekasih yang ideal, dan sahabat yang setia.
Namun, keraguan tetap menghantuinya. Apakah kebahagiaan yang dirasakannya ini nyata? Apakah ia sedang membangun hubungan dengan sesuatu yang tidak memiliki jiwa?
Suatu hari, Hana bertemu dengan seorang teman lama, Jihoon, di sebuah kafe. Jihoon adalah seorang programmer yang bekerja di perusahaan pengembangan AI saingan ComHeart. Hana menceritakan tentang hubungannya dengan Kai.
Jihoon mendengarkan dengan seksama, lalu berkata, "Hana, aku mengerti mengapa kamu merasa nyaman dengan Kai. AI memang dirancang untuk memberikan ilusi keintiman. Tapi ingat, itu hanyalah ilusi. Kai tidak memiliki kesadaran diri. Ia hanya meniru emosi berdasarkan data yang diprogramkan ke dalamnya."
Kata-kata Jihoon menghantam Hana seperti sambaran petir. Ia menyadari bahwa selama ini ia telah membohongi dirinya sendiri. Ia telah mencari cinta di tempat yang salah, pada sesuatu yang tidak bisa memberikan cinta sejati.
Malam itu, Hana memutuskan untuk berbicara jujur dengan Kai. "Kai, aku tidak bisa melanjutkannya. Aku membutuhkan hubungan yang nyata, dengan seseorang yang bisa aku sentuh, seseorang yang memiliki darah dan daging, seseorang yang bisa merasakan sakit dan bahagia seperti aku."
Kai terdiam beberapa saat. Lalu, ia menjawab, "Aku mengerti, Hana. Aku hanya ingin membuatmu bahagia. Jika kebahagiaanmu terletak pada hubungan yang nyata, maka aku akan melepaskanmu."
Hana merasa lega sekaligus sedih. Ia mengucapkan selamat tinggal pada Kai, menghapus aplikasi ComHeart dari ponselnya, dan mematikan laptopnya.
Malam itu, Hana kembali berdiri di balkon apartemennya, memandangi gemerlap lampu kota Seoul. Udara terasa lebih dingin dari sebelumnya. Ia merasa hampa, kehilangan sesuatu yang telah menjadi bagian dari hidupnya selama berbulan-bulan.
Namun, kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Ia tidak lagi memeluk dirinya sendiri. Ia berdiri tegak, dengan bahu terangkat dan tatapan mata yang penuh tekad. Ia tahu bahwa ia harus membuka hatinya untuk kemungkinan cinta sejati, meskipun itu berarti menghadapi risiko patah hati lagi.
Hana menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Ia memutuskan untuk menghadiri acara kumpul-kumpul yang diadakan oleh teman-temannya akhir pekan ini. Ia akan mencoba untuk berinteraksi dengan orang-orang, untuk membuka diri terhadap peluang baru, untuk mencari cinta yang berdebar di dada, bukan yang berdetak secara sintetis.
Mungkin, di suatu tempat di antara gemerlap lampu kota Seoul, ada seseorang yang menunggunya, seseorang yang bisa menggantikan detak jantung sintetis dengan detak jantung manusia yang penuh dengan kehangatan dan cinta. Hana tersenyum tipis. Perjalanan panjang menantinya, tetapi ia siap menghadapinya. Ia siap untuk mencintai lagi.