AI: Resep Cinta, Tanpa Bumbu Air Mata?

Dipublikasikan pada: 02 Jun 2025 - 22:30:15 wib
Dibaca: 165 kali
Aplikasi "Soulmate AI" berdering lembut di pergelangan tangan Anya. Sebuah notifikasi berkedip: "Potensi kecocokan 98% ditemukan. Ingin berkenalan?" Anya menghela napas. Sudah entah yang keberapa kalinya aplikasi ini menawarkan kecocokan sempurna. Dulu, Anya selalu menolak, skeptis terhadap algoritma yang menjanjikan cinta sejati. Tapi kini, setelah tiga puluh tahun kesendirian dan kencan-kencan yang menyakitkan, Anya mulai mempertimbangkan.

"Siapa kali ini?" gumamnya, mengusap layar holografik yang muncul dari jam tangannya. Foto seorang pria muncul, tampan dengan senyum hangat dan mata yang terlihat teduh. Namanya Kai. Profesi: Arsitek Lanskap. Hobi: Fotografi dan mendaki gunung. Singkatnya, tipe ideal Anya di atas kertas.

"Baiklah," Anya berbisik pada dirinya sendiri. "Tidak ada salahnya mencoba. Setidaknya, kali ini kurasa tidak akan ada drama."

Percakapan dimulai dengan canggung, seperti yang selalu terjadi. Tapi Kai pandai mencairkan suasana. Ia lucu, cerdas, dan yang paling penting, ia mendengarkan. Anya merasa nyaman berbagi tentang pekerjaannya sebagai ahli botani, tentang kecintaannya pada tanaman langka, dan tentang trauma masa lalunya. Kai merespons dengan empati dan pengertian, tanpa menghakimi. Rasanya seperti berbicara dengan sahabat lama, bukan orang asing yang baru dikenal lewat aplikasi.

Mereka bertukar pesan setiap hari, berjam-jam. Kemudian, percakapan berlanjut ke panggilan video. Anya terpukau dengan kejujuran dan kebaikan yang terpancar dari mata Kai. Semakin mereka mengenal satu sama lain, semakin Anya yakin bahwa Soulmate AI mungkin benar. Mungkin, kali ini, ia telah menemukan seseorang yang benar-benar cocok dengannya.

Setelah dua minggu percakapan intensif, Kai mengajaknya berkencan. Anya setuju, dengan jantung berdebar kencang. Mereka bertemu di sebuah kafe kecil dekat taman kota, tempat Kai sering mengambil foto. Begitu melihatnya, Anya tahu. Ia tidak hanya jatuh cinta pada profil virtual Kai, tapi juga pada dirinya yang nyata.

Kencan itu terasa seperti mimpi. Mereka tertawa, berbicara tentang impian dan harapan, dan menikmati kebersamaan satu sama lain. Anya merasa seperti dirinya yang terbaik saat bersama Kai. Ia merasa dilihat, didengar, dan dihargai.

Hari-hari berlalu dengan cepat. Anya dan Kai semakin dekat. Mereka menjelajahi kota bersama-sama, mendaki gunung di akhir pekan, dan menghabiskan malam dengan menonton film di apartemen Anya. Kai bahkan membantu Anya menanam tanaman langka di balkonnya, dengan sabar mengajari Anya teknik baru yang ia pelajari dari pengalamannya sebagai arsitek lanskap.

Anya merasa bahagia, lebih bahagia dari yang pernah ia bayangkan. Ia merasa lengkap. Tapi di balik kebahagiaan itu, terselip keraguan. Terlalu sempurna. Terlalu mudah. Apakah ini nyata? Apakah cinta yang ditemukan melalui algoritma bisa bertahan lama?

Suatu malam, saat mereka duduk berdua di balkon, menatap bintang-bintang, Anya memberanikan diri untuk bertanya. "Kai," katanya, suaranya bergetar. "Apakah kamu... nyata?"

Kai menoleh, menatap Anya dengan bingung. "Tentu saja aku nyata, Anya. Apa maksudmu?"

"Aku hanya... Aku khawatir," Anya melanjutkan. "Semuanya terasa terlalu sempurna. Kita bertemu lewat aplikasi. Algoritma memilih kita. Apakah ini benar-benar cinta, atau hanya program yang berjalan sesuai rencana?"

Kai meraih tangan Anya, menggenggamnya erat. "Anya, aku tidak tahu apa yang dipikirkan algoritma. Yang aku tahu adalah, aku jatuh cinta padamu. Aku jatuh cinta pada kecerdasanmu, kebaikanmu, dan semangatmu. Aku jatuh cinta pada dirimu apa adanya. Aplikasi mungkin menemukan kita, tapi perasaan ini nyata. Ini bukan program, Anya. Ini cinta."

Anya menatap mata Kai, mencari kebohongan. Tapi yang ia temukan hanyalah ketulusan. Ia percaya padanya. Ia percaya pada cinta mereka.

Beberapa bulan kemudian, Kai melamar Anya di puncak gunung, saat matahari terbit. Anya menjawab "ya" dengan air mata bahagia mengalir di pipinya. Pernikahan mereka sederhana, dihadiri oleh keluarga dan teman-teman terdekat. Di hari pernikahannya, Anya menyadari bahwa Soulmate AI mungkin hanya sebuah alat, tapi alat itu telah membawanya pada kebahagiaan sejati.

Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung selamanya. Suatu hari, Anya menemukan Kai termenung di depan komputernya, wajahnya pucat pasi. "Ada apa?" tanya Anya, khawatir.

Kai menoleh, matanya berkaca-kaca. "Aku... aku harus memberitahumu sesuatu."

Kai menjelaskan bahwa Soulmate AI tidak hanya mencocokkan orang berdasarkan data dan algoritma. Ia juga menggunakan teknologi implan otak untuk meningkatkan kompatibilitas emosional antara pasangan. Implan itu bekerja dengan menekan emosi negatif dan memperkuat emosi positif, menciptakan rasa cinta dan kebahagiaan yang intens.

Anya terkejut. Ia merasa dikhianati. "Jadi, semua ini... palsu?" tanyanya, suaranya lirih. "Cinta kita... hanya hasil dari teknologi?"

"Tidak, Anya! Bukan begitu," Kai membantah. "Teknologi itu hanya membantu kita. Perasaan kita tetap nyata. Aku benar-benar mencintaimu."

Anya tidak tahu apa yang harus dipercayai. Ia merasa hancur. Ia merasa seperti selama ini hidup dalam kebohongan. Ia membutuhkan waktu untuk berpikir. Ia meninggalkan Kai dan pergi ke rumah lamanya, mencari ketenangan.

Selama beberapa hari, Anya merenungkan segalanya. Ia memikirkan tentang kebahagiaan yang ia rasakan bersama Kai, tentang cinta yang mereka bagi, dan tentang masa depan yang mereka impikan. Ia menyadari bahwa meskipun cinta mereka mungkin dibantu oleh teknologi, perasaan itu tetap nyata. Kai mencintainya, dan ia mencintai Kai.

Anya kembali ke Kai. Mereka berbicara panjang lebar, jujur dan terbuka. Kai meyakinkan Anya bahwa ia akan menonaktifkan implan otaknya, jika itu yang ia inginkan. Anya setuju. Ia ingin merasakan cinta yang murni, tanpa campur tangan teknologi.

Setelah implan dinonaktifkan, segalanya berubah. Emosi mereka menjadi lebih kompleks. Mereka merasakan kebahagiaan yang lebih dalam, tetapi juga kesedihan, kemarahan, dan kekecewaan. Mereka berargumen, mereka bertengkar, mereka saling menyakiti. Tapi mereka juga belajar untuk saling memaafkan, untuk saling mendukung, dan untuk mencintai satu sama lain apa adanya, dengan segala kelebihan dan kekurangan.

Cinta mereka tidak lagi sempurna. Tapi itu nyata. Itu kuat. Itu penuh dengan bumbu kehidupan, termasuk air mata. Anya dan Kai belajar bahwa cinta sejati bukan tentang mencari kecocokan sempurna, tetapi tentang menerima ketidaksempurnaan dan berjuang bersama. Mereka menemukan resep cinta yang unik, resep yang tidak hanya berisi kebahagiaan, tetapi juga kesedihan, pengorbanan, dan komitmen. Dan resep itulah yang membuat cinta mereka semakin manis.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI