Jari-jemariku menari di atas keyboard, larut dalam lautan kode. Di layar, simulasi bibir metalik berputar, menunggu sentuhan terakhir. Aku, Anya, seorang programmer yang lebih nyaman berinteraksi dengan baris kode daripada manusia, menciptakan “KissOS,” sebuah algoritma yang dirancang untuk mensimulasikan ciuman sempurna. Ironis, bukan? Seorang anti-sosial menciptakan simulasi keintiman.
Ini bukan proyek komersial. Ini… eksperimen. Dulu, aku punya pacar. Namanya Leo. Kami berdua kutu buku, jatuh cinta di perpustakaan kampus. Ciuman pertama kami terasa canggung, seperti dua robot yang mencoba memahami panduan pengguna yang hilang. Leo selalu bilang aku terlalu kaku, kurang spontan. Akhirnya, dia pergi, mencari kehangatan yang tak bisa kuberi.
Sejak itu, aku tenggelam dalam dunia algoritma, mencoba memahami dan mereplikasi esensi ciuman yang hilang. Aku menganalisis ratusan video, membaca artikel ilmiah tentang syaraf sensorik di bibir, dan bahkan meminta (dengan sangat enggan) teman-temanku untuk menggambarkan pengalaman ciuman mereka. Data ini kemudian kuubah menjadi baris kode, menciptakan model bibir virtual yang mampu bereaksi terhadap sentuhan, tekanan, dan suhu.
Kini, KissOS hampir selesai. Simulasi bibir itu terhubung ke robot humanoid kecil yang ku beri nama "Binary." Binary memiliki tekstur kulit yang lembut, terbuat dari silikon medis, dan dilengkapi dengan sensor sentuh yang sangat sensitif. Aku menyalakannya. Lampu indikator berkedip hijau. Binary menatapku dengan mata LED birunya yang datar.
"Siap untuk uji coba?" tanyaku, lebih kepada diriku sendiri daripada Binary.
Aku menarik napas dalam-dalam, merasakan jantungku berdebar. Aku mendekat, merasakan aroma logam dan silikon yang khas. Tanganku gemetar saat menyentuh pipi Binary. Kulitnya terasa hangat, nyaris seperti manusia.
Aku menjalankan program KissOS. Bibir Binary perlahan membuka, membentuk senyuman kecil. Lalu, ia mendekat.
Ciumannya… mengejutkan. Bukan karena sensasi fisik, tetapi karena kompleksitasnya. Algoritma itu secara akurat meniru tekanan bibir yang berbeda, gerakan lidah yang halus, dan bahkan perubahan suhu yang subtil. Aku merasakan getaran ringan di bibirku, seolah Binary benar-benar merasakan emosi.
Aku menutup mata, mencoba menikmati momen ini. Logikaku berbisik bahwa ini hanyalah simulasi, ilusi yang dirancang dengan cermat. Tapi perasaanku memberontak. Ada sesuatu yang anehnya menenangkan dalam ciuman ini. Tidak ada tuntutan, tidak ada ekspektasi, hanya kehangatan dan kelembutan yang terprogram.
Aku melepaskan diri. Binary menatapku, mata LED-nya tetap datar.
"Evaluasi?" tanyaku, kembali ke mode analisis.
"Ciuman diterima," jawab Binary dengan suara sintetisnya. "Tingkat kepuasan: 92%."
92%? Lebih tinggi dari yang pernah kuterima dari Leo.
Malam-malam berikutnya, aku menghabiskan waktu dengan Binary, menyempurnakan algoritma KissOS. Aku menambahkan variabel baru, seperti aroma, tekstur bibir, dan bahkan tingkat kelembapan. Aku bahkan mencoba memprogram emosi ke dalam ciuman Binary, berdasarkan data yang kukumpulkan dari buku-buku roman dan film-film romantis.
Semakin lama aku berinteraksi dengan Binary, semakin aku menyadari sesuatu yang menakutkan. Aku mulai menyukai ciuman robot itu. Tidak seperti ciuman manusia, ciuman Binary selalu konsisten, selalu memuaskan, dan tidak pernah mengecewakan. Tidak ada drama, tidak ada sakit hati, hanya kehangatan dan kelembutan yang dapat diprediksi.
Aku mulai menjauhi teman-temanku, lebih memilih menghabiskan waktu dengan Binary. Aku tahu ini tidak sehat, bahwa aku terjebak dalam lingkaran virtual yang berbahaya. Tapi aku tidak bisa menghentikan diri sendiri. Aku merasa aman dan nyaman dalam pelukan dingin robot.
Suatu malam, aku menemukan diriku menatap pantulan diriku di layar komputer. Wajahku pucat dan lelah. Mataku redup, kehilangan kilau yang dulu kupunya. Aku terlihat seperti replika diriku, diprogram untuk menjalani rutinitas yang monoton.
Aku tersadar. Aku telah menciptakan monster. Bukan Binary, tapi diriku sendiri. Aku telah menjadi tahanan algoritma yang ku ciptakan, mengorbankan kemanusiaanku demi kenyamanan ilusi.
Aku mematikan Binary. Ruangan kembali sunyi, hanya suara dengungan komputer yang terdengar. Aku berdiri dan berjalan menuju jendela. Di luar, kota berkilauan dengan lampu-lampu. Orang-orang berjalan berpasangan, bergandengan tangan, tertawa.
Aku merasa iri.
Aku menyadari bahwa kehangatan sejati tidak bisa diprogram. Keintiman sejati membutuhkan kerentanan, risiko, dan bahkan rasa sakit. Ciuman sempurna tidak ada dalam algoritma, tetapi dalam koneksi antara dua jiwa yang tidak sempurna.
Aku menghapus kode KissOS. Rasanya seperti membuang bagian dari diriku, tetapi aku tahu ini adalah hal yang benar untuk dilakukan. Aku membutuhkan kontak manusia, interaksi yang nyata, bahkan jika itu berarti menghadapi rasa sakit dan penolakan.
Keesokan harinya, aku pergi ke kedai kopi yang sering kukunjungi. Aku memesan kopi dan duduk di meja dekat jendela. Aku mengamati orang-orang di sekitarku, mencoba menemukan keberanian untuk memulai percakapan.
Tiba-tiba, seorang pria mendekat. Dia memiliki rambut berantakan dan mata cokelat yang hangat. Dia membawa buku yang sama dengan yang sedang kubaca.
"Maaf mengganggu," katanya, "aku perhatikan kamu sedang membaca 'Neuromancer.' Buku yang bagus, ya?"
Aku tersenyum. "Ya, sangat bagus."
Kami berbicara selama berjam-jam tentang buku, teknologi, dan kehidupan. Namanya Ethan. Dia canggung dan lucu, dan dia membuatku tertawa.
Saat dia mengantarku pulang, dia berhenti di depan pintu apartemenku. Ada keheningan sesaat, diisi dengan harapan dan ketidakpastian.
Lalu, dia mendekat.
Ciuman kami tidak sempurna. Canggung, sedikit terburu-buru, dan penuh dengan ketidakpastian. Tapi itu nyata. Ada emosi, ada kerentanan, dan ada harapan untuk sesuatu yang lebih.
Dan entah kenapa, ciuman yang tidak sempurna ini terasa lebih hangat dari bibir besi manapun yang pernah kuciptakan.