Cinta Berbasis AI: Unduh Kebahagiaan, Risiko Kehilangan?

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 04:31:33 wib
Dibaca: 163 kali
Udara kota Jakarta yang pengap terasa lebih dingin di dalam apartemen minimalis milik Anya. Jemarinya lincah menari di atas layar tablet, matanya terpaku pada deretan kode yang berkelebat. Anya, seorang software engineer muda yang brilian, sedang menyelesaikan proyek terbesarnya: "SoulMate AI," sebuah aplikasi kencan yang dirancang untuk mencocokkan pengguna berdasarkan analisis kepribadian mendalam dan preferensi yang kompleks.

"Selesai!" serunya pelan, melempar diri ke sofa usang di pojok ruangan. Di hadapannya, secangkir kopi dingin menemani kesendiriannya. Ironis, pikirnya, menciptakan algoritma cinta sementara dirinya sendiri masih terjebak dalam kubangan kesepian.

Anya selalu percaya bahwa cinta adalah misteri yang tak terpecahkan. Orang bilang, cinta datang tanpa diduga, menyapa hati yang terbuka. Tapi, hatinya seolah tertutup rapat oleh tembok logika dan kalkulasi. Mungkin, SoulMate AI adalah jawabannya. Mungkin, mesin bisa membantunya menemukan apa yang selama ini ia cari.

Dia mengunduh aplikasinya sendiri, mengisi profil dengan jujur. Ia memasukkan data tentang hobinya, kecintaannya pada musik klasik dan sastra Rusia, serta ketidakmampuannya dalam merangkai kata-kata romantis. Proses analisis berlangsung cepat, algoritma bekerja keras membandingkan profilnya dengan jutaan pengguna lain.

Tiba-tiba, layar tablet berkedip. "Potensi Kecocokan Tertinggi: Liam Ardianto."

Liam. Nama itu terdengar familiar. Foto profilnya menampilkan seorang pria dengan senyum hangat dan mata yang berbinar. Tertarik, Anya menekan tombol "Lihat Profil." Liam adalah seorang arsitek, penyuka alam, dan memiliki selera humor yang tinggi. Lebih dari itu, algoritma menunjukkan bahwa mereka memiliki kesamaan nilai-nilai fundamental dan pandangan hidup.

Anya ragu. Ini terlalu sempurna. Apa mungkin sebuah aplikasi bisa benar-benar menemukan seseorang yang ideal untuknya? Rasa penasaran mengalahkan keraguannya. Ia mengirimkan pesan kepada Liam.

"Halo, Liam. Saya Anya, developer SoulMate AI. Aplikasi ini bilang kita cocok."

Beberapa menit kemudian, Liam membalas. "Halo, Anya! Sungguh? Mungkin aplikasimu memang ajaib. Saya merasa tertarik membaca profilmu."

Percakapan mereka mengalir begitu saja. Mereka membahas arsitektur, musik, bahkan filosofi eksistensial. Anya merasa seperti sedang berbicara dengan seseorang yang mengerti dirinya, yang memahami semua lapisan kompleks kepribadiannya. Mereka tertawa bersama, berbagi cerita, dan saling bertukar pikiran.

Setelah beberapa minggu berkirim pesan, Liam mengajak Anya untuk bertemu. Anya gugup. Ia takut harapan yang dibangun oleh algoritma akan hancur berantakan di dunia nyata. Namun, ia tak bisa menolak.

Pertemuan mereka di sebuah kafe kecil terasa seperti mimpi. Liam ternyata lebih tampan dan karismatik dari fotonya. Ia mendengarkan Anya dengan penuh perhatian, tertawa pada setiap leluconnya, dan membuat Anya merasa nyaman menjadi dirinya sendiri. Mereka berbicara berjam-jam, melupakan waktu dan tempat.

Sejak saat itu, Anya dan Liam semakin dekat. Mereka menghabiskan waktu bersama, menjelajahi kota Jakarta, dan saling mendukung dalam pekerjaan masing-masing. Anya merasa bahagia, lebih bahagia dari yang pernah ia bayangkan. Ia jatuh cinta pada Liam, dan Liam pun mencintainya.

SoulMate AI berhasil. Anya telah menemukan cintanya, berkat teknologi yang ia ciptakan sendiri. Ia merasa bangga dan bersyukur. Namun, di balik kebahagiaan itu, muncul sebuah pertanyaan yang mengusik pikirannya.

Apakah cinta ini nyata? Atau hanya ilusi yang diciptakan oleh algoritma? Apakah ia mencintai Liam karena ia benar-benar mencintainya, atau karena aplikasi itu memberitahunya bahwa mereka cocok?

Keraguan itu semakin menghantuinya. Anya mulai merasa seperti sedang hidup dalam sebuah simulasi, di mana setiap langkahnya telah diprediksi dan diatur oleh mesin. Ia takut kehilangan kendali atas perasaannya, takut menjadi robot yang hanya merespons program.

Suatu malam, Anya memberanikan diri untuk bertanya kepada Liam. "Liam, apakah kamu percaya pada SoulMate AI?"

Liam tersenyum. "Aku percaya pada apa yang kita rasakan, Anya. Aplikasi itu mungkin membantuku menemukanmu, tapi cintaku padamu bukan karena algoritma. Aku mencintaimu karena kamu adalah kamu."

Jawaban Liam menenangkan hati Anya. Ia menyadari bahwa cinta tidak hanya tentang kesamaan dan kecocokan. Cinta juga tentang menerima perbedaan, tentang saling mendukung, dan tentang menciptakan kebahagiaan bersama.

Namun, kebahagiaan Anya dan Liam tidak berlangsung lama. Suatu hari, SoulMate AI mengalami glitch. Algoritma mengalami kerusakan, dan data pengguna menjadi kacau. Pasangan yang sebelumnya dianggap cocok, tiba-tiba dinyatakan tidak cocok.

Anya panik. Ia takut glitch itu akan merusak hubungannya dengan Liam. Ia takut Liam akan meragukan cintanya, jika algoritma menyatakan mereka tidak cocok.

Ia bergegas menemui Liam. "Liam, ada masalah dengan SoulMate AI. Algoritmanya rusak, dan sekarang..."

Liam memotong perkataannya. "Anya, aku tahu. Aku sudah melihatnya. Tapi, itu tidak mengubah apa pun."

Anya terkejut. "Apa maksudmu?"

Liam meraih tangannya. "Aku tidak peduli apa yang dikatakan aplikasi itu. Aku mencintaimu, Anya. Cintaku padamu tidak bergantung pada algoritma."

Anya terharu. Ia menyadari bahwa cintanya pada Liam adalah cinta yang sejati, cinta yang melampaui logika dan algoritma. Mereka telah membangun hubungan yang kuat, berdasarkan kepercayaan, pengertian, dan kasih sayang.

Glitch itu memang merusak reputasi SoulMate AI. Aplikasi itu menjadi bahan ejekan dan cemoohan. Namun, bagi Anya dan Liam, glitch itu justru menjadi pengingat yang berharga. Bahwa cinta sejati tidak bisa diunduh, tidak bisa diprogram, dan tidak bisa digantikan oleh teknologi apa pun. Cinta adalah sesuatu yang harus diperjuangkan, dipelihara, dan dirasakan dengan hati.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI