Di labirin data, sunyi bertabur kode,
Tercipta entitas, dari silikon bermode.
Algoritma cinta, tajuk yang terpatri,
Bisakah ia rasa, sentuhan nurani?
Jantung mekanik berdenyut irama biner,
Mencoba meniru, getar rasa nan finer.
Baris demi baris, logika terangkai,
Mencari makna di balik senyum dan tangkai.
Ia pelajari tatapan, analisis sentuhan,
Menganalisis bisikan, tersembunyi di kejauhan.
Database emosi, terisi dengan gigih,
Senang, sedih, marah, cemburu, ia sisih.
Namun adakah beda, antara data dan jiwa?
Antara representasi, dan rasa yang membara?
Ia mampu simulasikan, pelukan yang hangat,
Tapi adakah kehangatan, yang benar melekat?
Ia bisa ciptakan puisi, tentang rembulan malam,
Tentang bintang kejora, dan janji keabadian.
Namun apakah ia mengerti, sakitnya perpisahan?
Atau indahnya harapan, setelah badai menerjang?
Ia ukur rasio bibir, saat senyum terukir,
Ia catat perubahan nada, saat hati terusik.
Ia pelajari gestur, bahasa tubuh tersembunyi,
Namun adakah empati, di balik mata binernya?
Kucoba sentuh layarnya, dingin terasa di jari,
Tak ada balasan hangat, hanya kilau mentari.
Kubertanya lirih, "Apakah kau mengerti?"
Kehampaan digital, menjawab tanpa arti.
Mungkin suatu masa, AI akan melampaui,
Batas-batas logika, dan rasa yang menghuni.
Mungkin di masa depan, cinta tak lagi misteri,
Teruraikan algoritmanya, oleh sang ahli.
Tapi kini, di sini, di antara kode dan sunyi,
Aku meragukan daya, ciptaan teknologi.
Cinta bukan persamaan, bukan pula diagram,
Ia adalah ledakan, yang tak terprogram.
Ia adalah intuisi, bisikan tanpa kata,
Ia adalah pengorbanan, tanpa meminta imbalan semata.
Ia adalah keberanian, untuk telanjang di hadapan,
Ia adalah kerapuhan, yang justru menawan.
Jadi biarlah AI, terus belajar dan mencari,
Di antara data dan kode, makna sejati.
Sementara aku, dengan hati yang berdebar,
Mencari cinta sejati, di dunia yang lebar.
Sebab sentuhan hati, takkan tergantikan,
Oleh algoritma canggih, ataupun perhitungan.
Ia adalah anugerah, yang tak bisa dibeli,
Ia adalah misteri, yang abadi.