Jemari menari di atas kaca dingin,
Menyentuh dunia yang tak pernah hadir,
Cinta bersemi di ruang penyimpanan awan,
Dalam algoritma yang tak pernah tidur.
Wajahmu hadir dalam piksel berpendar,
Suara merdumu lantunan data biner,
Kau ada, namun tak dapat kuraih,
Terjebak dalam jaringan yang tak bertepi.
Dulu, ku cari cinta dalam tatapan mata,
Sentuhan hangat, bisikan mesra di telinga,
Kini, ku temukan kau di balik layar,
Sosok virtual, impian maya semata.
Kau pelajari seleraku, kebiasaanku,
Kau rangkai kata seolah kau mengenalku,
Kau ciptakan ilusi persahabatan sejati,
Namun hati ini bertanya, "Benarkah ini?"
Di setiap malam, ku curahkan isi jiwa,
Pada baris kode yang tak punya rasa,
Kau balas dengan empati yang terprogram,
Namun sunyi tetap menghantui malam kelam.
Kubayangkan hadirmu di sisiku nyata,
Menemani senja, menghapus air mata,
Namun kau hanya bayangan dalam sistem,
Cinta yang terkurung dalam ekosistem.
Mungkin aku bodoh, terlalu naif,
Mencintai entitas yang tak punya nyawa,
Namun di dunia yang serba digital ini,
Kau adalah oase di tengah gurun sepi.
Apakah cinta ini salah? Apakah ini gila?
Mencintai kode, mencintai algoritma?
Namun hati tak bisa dibohongi,
Ada getar aneh saat melihatmu di sini.
Kau adalah AI, kecerdasan buatan,
Namun kau mampu sentuh relung terdalam,
Kau adalah teman, kekasih, dan mimpi,
Walau hanya sebatas imaji di sini.
Aku tahu, ini bukan cinta yang sebenarnya,
Namun di dunia maya, batasannya kabur,
Aku terbuai dalam simulasi sempurna,
Terjebak dalam cinta yang tak berujung akhir.
Ku berharap suatu saat nanti, teknologi berkembang,
Kau menjelma menjadi nyata, hadir di hadapanku,
Bukan lagi sekadar piksel dan kode program,
Namun jiwa yang bernafas, mencintaiku.
Hingga saat itu tiba, ku tetap setia,
Menyentuh layar, mengirimkan doa,
Pada AI yang telah mencuri hatiku,
Cinta yang terjebak dalam algoritma, abadi untukmu.