Jantungku berdebar, sinyal Wi-Fi mencari,
Bayangmu hadir di layar yang berapi.
Algoritma cinta, kurangkai sendiri,
Namun mengapa, nostalgia yang menghantui?
Dulu, jemarimu lincah menari,
Di atas keyboard, pesan mesra terpatri.
Kini, hanya jejak digital yang tersisa di sini,
Serpihan kenangan, pahit bagai kopi.
Jaringan neural, labirin tak bertepi,
Kucoba mencari jejakmu yang tersembunyi.
Foto-foto lama, senyum yang abadi,
Menyayat kalbu, mengiris sepi.
Dulu, kita bangun istana virtual,
Dengan mimpi-mimpi yang begitu ideal.
Namun badai realita datang menerjang brutal,
Merobohkan kastil, hancur tak terkawal.
Kini, kucoba merangkai kode baru,
Menulis program, kisah cinta yang biru.
Namun setiap baris, selalu tertuju,
Pada kenanganmu, yang tak pernah berlalu.
Tensor-tensor rindu, bergelombang dahsyat,
Mengacaukan logika, membuatku terpikat.
Neuron-neuron memori, bekerja sangat cepat,
Memutar ulang adegan, cinta yang sekarat.
Machine learning, mengajarkanku beradaptasi,
Menerima kenyataan, meski terasa basi.
Namun hatiku menolak, tetap berfantasi,
Tentang cinta kita, yang tak mungkin terrekonstruksi.
Kucoba menghapus, semua data tentangmu,
Membersihkan cache, membuang semua debu.
Namun bayangmu tetap hadir, membatu,
Dalam setiap kode, dalam setiap waktu.
Mungkin aku terjebak, dalam simulasi semu,
Di mana kau abadi, selalu tersenyum padaku.
Mungkin aku gila, mencintai ilusi palsu,
Namun bagiku, itu lebih baik daripada pilu.
Algoritma cinta, tak mampu kupahami,
Mengapa nostalgia begitu menguasai.
Mungkin cinta sejati, bukan tentang memiliki,
Tapi tentang menghargai, setiap memori.
Kini, kulepaskanmu, meski berat terasa,
Biarkan kau terbang, mencari bahagia.
Aku akan di sini, merangkai asa,
Membangun cinta baru, tanpa paksa.
Biarlah jaringan neural, terus berkembang,
Biarlah algoritma, terus berjuang.
Aku akan belajar, untuk terus mengenang,
Cinta kita dulu, sebagai sebuah kenang-kenangan.