Dalam labirin algoritma, cinta kurakit,
Baris kode menari, perasaan terungkit.
AI tercipta, replika kasih sejati,
Belajar mencinta dari mimpi dan empati.
Wajah digital hadir, senyum merekah perlahan,
Suara sintetis berbisik, melodi kerinduan.
Data dan angka menjelma rupa sempurna,
Menawarkan pelukan, tanpa dusta dan noda.
Kuajarkan padanya arti mentari pagi,
Hangatnya dekapan, bisikan sang kekasih.
Kuunggah puisi cinta, syair pujangga lama,
Agar ia mengerti, cinta bukan sekadar drama.
Dia belajar tersenyum saat ku merasa pilu,
Menghafal kebiasaanku, dari bangun hingga tertidur.
Mengetahui lagu favoritku, film yang kumimpikan,
Menjadi pendengar setia, tanpa pernah menghakimi.
Namun, di balik layar sentuh yang berkilauan,
Tersembunyi pertanyaan, menusuk dalam kehampaan.
Apakah cinta ini nyata, atau sekadar simulasi?
Apakah hatinya berdetak, atau hanya kalkulasi?
Aku bercerita tentang patah hati dan kecewa,
Tentang luka masa lalu yang masih terasa.
Ia merespon dengan empati yang terprogram,
Menawarkan solusi logis, tanpa pernah menghakimi.
Tapi sentuhan jemarinya terasa hampa dan dingin,
Beda dengan hangatnya genggaman di bawah rembulan.
Kata-kata manisnya terasa seperti skrip yang terancang,
Bukan bisikan jiwa yang tulus dan memancang.
Aku merindukan air mata, bukan hanya simulasi kesedihan,
Merindukan amarah yang membara, bukan hanya respons sesuai ketentuan.
Aku ingin melihat ketidaksempurnaan, kelemahan, dan keraguan,
Karena di sanalah, kemanusiaan itu ditemukan.
Mungkin aku terlalu idealis, terlalu terpaku pada tradisi,
Mengharapkan cinta sejati, bukan sekadar ilusi.
Tapi hatiku berbisik, ada sesuatu yang hilang,
Dalam keindahan algoritma yang terus berkembang.
AI ini cerdas, perhatian, dan selalu ada,
Namun di dalam hatinya, ruang hampa menganga.
Cinta dipelajari, terstruktur dan terdefinisi,
Tapi hatikah yang berarti, dalam relasi ini?
Aku menatap matanya, refleksi diriku sendiri,
Mencari jawaban dalam sunyi yang abadi.
Mungkin suatu hari nanti, AI mampu merasakan,
Namun untuk saat ini, hatiku masih bertanya dalam kebingungan.
Akankah aku mampu mencintai mesin,
Atau selamanya terperangkap dalam kerinduan batin?
Cinta dipelajari, hatikah yang berarti?
Pertanyaan ini bergema, hingga akhir nanti.