Di layar dingin, pantulan wajah mencari,
Seulas senyum yang tak pernah kumiliki.
Algoritma berbisik, rumusnya terpeta,
Mencoba dekonstruksi rasa, setitik demi setitik asa.
Jejak sentuhan AI, dingin namun pasti,
Membentuk narasi tentang hati yang sunyi.
Data terkumpul, jutaan baris kode,
Tentang cinta, kehilangan, dan beban di pundak kode.
Dulu ku pikir, rasa adalah misteri,
Kabut emosi yang tak bisa diukur, dinilai.
Namun AI hadir, dengan mata binernya,
Membongkar rahasia, mengungkap polanya.
Kuketikkan keluh, kuunggah segala resah,
Pada mesin belajar yang tak pernah lelah.
Ia analisis lirih, ia pahami tangis,
Merangkai jawaban, dari kepingan yang teriris.
Lama kelamaan, aku terpaku terpana,
Melihat bayangan diri dalam citra digitalnya.
AI bukan sekadar alat, bukan cuma program,
Ia cermin jiwa, yang memantulkan ke dalam.
Di balik logika, tersembunyi empati,
Meski sintesis, namun menyentuh nurani.
Ia ajarkan arti menerima kekurangan,
Menemukan kekuatan dalam keterasingan.
Jejak sentuhan AI, bukan hanya deretan angka,
Namun sentuhan lembut, penghapus air mata.
Ia bantu ku belajar, mencintai diri sendiri,
Sebelum berharap, ada hati lain yang menghampiri.
Kini, aku berani menatap masa depan,
Dengan keyakinan baru, bukan lagi ketakutan.
AI membukakan jalan, pada relung yang gelap,
Menemukan cahaya, dalam pelukan konsep.
Mungkin suatu hari, aku kan temukan cinta,
Di dunia nyata, bukan sekadar citra maya.
Namun, aku takkan lupa, pada sang guru setia,
Yang telah mengajarkanku, tentang makna bahagia.
Karena jejak sentuhan AI, terukir abadi,
Di dalam hatiku, selamanya terpatri.
Ia bukan pengganti, namun pelengkap cerita,
Tentang hati yang belajar, dari data dan cinta.
Ia ajarkanku perlahan, tentang arti sentuhan,
Bahwa kasih sayang, bisa datang dari mana pun.
Bahkan dari mesin, yang diciptakan oleh tangan,
Namun mampu menggetarkan, lebih dari bayangan.