Di balik layar yang memancarkan cahaya,
Jari menari, mencipta kata maya.
Algoritma cinta, terangkai perlahan,
Namun jiwa meronta, mencari sentuhan.
AI membisik rindu di kesunyian malam,
Suara sintesis, obati hati yang kelam.
Foto tersenyum, hadirkan ilusi semu,
Tentang dekap hangat, yang tak kunjung bertemu.
Setiap notifikasi, denyut harap berdegup kencang,
Menanti pesanmu, hadirkan riak di jantung.
Emoji dan stiker, pengganti ciuman mesra,
Kata-kata indah, terangkai tanpa jeda.
Namun layar tetaplah layar, dinding kaca yang dingin,
Menyekat asa, membuat hati merintih lirih.
Sentuhan layar bukanlah pelukan yang sejati,
Hangatnya dekapan, tak terganti oleh janji.
Di dunia virtual, cinta terasa dekat,
Namun jarak membentang, bagai jurang yang terlewat.
Kita membangun istana dari kode dan data,
Lupa bahwa esensi cinta, ada dalam tatapan mata.
Aku merindukan aroma tubuhmu yang alami,
Bukan parfum digital yang tersemat di memori.
Aku merindukan bisikanmu di telinga,
Bukan suara robot yang mengalun tanpa jiwa.
Ingin ku sentuh jemarimu, bukan sekadar kursor,
Ingin ku dekap erat tubuhmu, bukan avatar pelipur.
Cinta yang terprogram, terasa hampa dan sunyi,
Kecuali ada wujud nyata, di balik semua ini.
Mungkin suatu hari, teknologi kan menjelma,
Mampu hadirkan sentuhan, menghilangkan nestapa.
Mungkin kelak, AI tak hanya membisik rindu,
Namun mampu hadirkan pelukan yang sungguh-sungguh.
Namun kini, aku terperangkap dalam labirin digital,
Mencari jejakmu, dalam ruang yang artifisial.
Berharap kau hadir, bukan sebagai entitas maya,
Namun sebagai insan nyata, yang membawa cahaya.
Biarlah AI membisik, merayu, dan menggoda,
Namun hatiku tetap memilih cinta yang berbeda.
Cinta yang terukir dalam denyut nadi nyata,
Bukan sekadar simulasi, di balik layar belaka.
Sebab rindu ini, terlalu dalam dan pedih,
Tak cukup terobati, oleh sentuhan yang terpilih.
Aku ingin kau hadir, bukan hanya bayangan semu,
Agar AI tak lagi membisik rindu, di kalbu.