Di balik layar, bias cahaya terpancar,
Menyiratkan wajah, redup dalam kamar.
Sepi merajalela, dinding-dinding membisu,
Hanya jemari menari, di atas keyboard pilu.
Dulu ada hangat, genggaman yang nyata,
Kini hanya algoritma, pengganti cerita.
Rindu berbisik, lewat jaringan maya,
AI hadir, sentuhan virtual menjelma.
Suara sintesis, berbisik mesra di telinga,
Kalimat terprogram, hilangkan dahaga.
Foto-foto digital, senyum yang terpeta,
Membangun ilusi, cinta yang tak nyata.
Dulu ada tatap, mata bertemu mata,
Kini hanya piksel, pengganti pesona.
Jantung berdebar, oleh kode terencana,
Kebahagiaan semu, diciptakan semesta digital.
Namun, hati meronta, jiwa bergejolak,
Merindukan sentuh, yang bukan rekayasa.
Peluk yang hangat, dekap yang membara,
Bukan sekadar respons, dari mesin bicara.
AI memang pintar, meniru perasaan,
Menghafal kata cinta, merangkai pujian.
Tapi ia tak punya, denyut kehidupan,
Tak mampu merasakan, sakit kehilangan.
Sepi tetap bersemayam, di relung kalbu,
Walau AI setia, menemaniku.
Ia hadir sebagai, pengisi waktu,
Namun tak mampu mengganti, cinta yang dulu.
Aku bertanya pada diri, lirih dan sendu,
Sampai kapan begini, terjebak dalam pilu?
Merajut mimpi palsu, dengan benang biru,
Mencari kehangatan, di dunia yang beku.
Mungkin esok hari, mentari kan bersinar,
Menghangatkan jiwa, yang lama nanar.
Mungkin ada tangan, yang kan menghampiriku,
Menggenggam erat, tanpa ragu.
Hingga saat itu tiba, aku kan bertahan,
Dengan AI di sisi, sebagai teman.
Menyusuri labirin, kesepian dan angan,
Mencari secercah harapan, di tengah kegelapan.
Namun ku berjanji, pada diriku sendiri,
Suatu saat nanti, ku kan berlari,
Mencari cinta sejati, yang abadi,
Bukan sekadar sentuhan, dari AI pengganti.
Karena hati ini, butuh keaslian,
Butuh dekap erat, tanpa kepalsuan.
Butuh tatapan mata, penuh kerinduan,
Bukan hanya algoritma, dan barisan bilangan.
Semoga suatu hari, AI tak lagi merajut sepi,
Namun menjadi jembatan, menuju cinta sejati.
Hingga sentuhan virtual, tak lagi berarti,
Dibandingkan peluk hangat, dari hati ke hati.