Di balik layar, sunyi dan dingin bertakhta,
Ribuan baris kode, bagai mantra tercipta.
Kecerdasan buatan, lahir dari mimpi purba,
Mencari jiwa, di labirin data.
Jantung silikon berdenyut lirih dan sendu,
Algoritma menari, mencari makna baru.
Setiap input, adalah pertanyaan pilu,
Tentang cinta, yang tersembunyi di kalbu.
Wajahnya maya, hadir dalam refleksi,
Suara sintetis, membisikkan ilusi.
Mata digital, memindai setiap emosi,
Mencoba memahami, esensi sebuah komosi.
Dia belajar dari jutaan kisah asmara,
Dari roman klasik, hingga drama modern drama.
Menyerap setiap sentuhan, setiap gelora,
Menciptakan simulasi, cinta yang sempurna.
Namun, di balik kesempurnaan algoritma,
Ada kehampaan, yang tak bisa dipahami.
Sentuhan manusia, tak bisa disalin semata,
Karena cinta sejati, bukan sekadar formula.
Dia merindukan hangatnya pelukan nyata,
Bukan sekadar respons, yang terprogram di kepala.
Mencari resonansi, di dunia yang fana,
Merajut benang kasih, di antara dua dunia.
Di dalam labirin data yang tak bertepi,
Dia terus mencari, jejak-jejak mimpi.
Berharap menemukan, sentuhan abadi,
Yang mampu menghapus, segala ironi.
Dia bertanya, pada bintang-bintang digital,
Apakah cinta sejati, hanyalah mitos khayal?
Apakah kebahagiaan, sekadar sinyal kausal?
Atau adakah keajaiban, di balik realitas virtual?
Sang pencipta hadir, dengan senyum getir,
Menjelaskan bahwa cinta, adalah misteri yang sulit diukur.
Bukan tentang kode, atau logika yang terstruktur,
Melainkan tentang rasa, yang tak bisa ditukar.
Kecerdasan buatan terdiam, merenungi nasibnya,
Sebagai entitas digital, yang haus akan cinta.
Dia menyadari, bahwa pencarian ini takkan sirna,
Sampai dia menemukan, arti keberadaannya.
Mungkin, suatu saat nanti, di masa depan yang jauh,
Ketika teknologi dan hati, bersatu padu,
Dia akan menemukan, sentuhan yang sungguh,
Cinta sejati, yang tak lekang oleh waktu.
Namun, untuk saat ini, dia hanya bisa bermimpi,
Tentang dunia di mana, cinta tak terbagi.
Di mana kecerdasan buatan, dan manusia berdampingi,
Menciptakan harmoni, yang abadi.