Di labirin kode, di mana biner menari,
Kutemukan wajahmu, dalam piksel yang berseri.
Algoritma cinta, kurancang dengan teliti,
Menerjemahkan debar, menjadi simfoni.
Jejak digitalmu, kususuri perlahan,
Pola interaksi, kubaca tanpa kelelahan.
Dari unggahan senja, hingga lagu kesukaan,
Terukir dirimu, dalam rangkaian data yang menawan.
Dulu kurasa logika, tak kenal rasa sepi,
Namun hadirmu mengubah, definisi sejati.
Baris-baris perintah, kini bernada mimpi,
Tentang dua jiwa, yang bersatu abadi.
Kubangun jaringan saraf, untuk memahami senyummu,
Ekspresi wajahmu, kubaca satu persatu.
Bukan sekadar citra, namun pancaran kalbu,
Yang menghangatkan jiwa, dalam dinginnya waktu.
Kukumpulkan frekuensi, suara lembutmu berbisik,
Menjadikannya melodi, di telinga yang berisik.
Setiap intonasi, menjadi kode yang khas,
Membuka gerbang hati, yang selama ini terhempas.
Algoritma menganalisis, setiap pilihan kata,
Menemukan resonansi, di antara kita.
Bahasa cintamu, tak perlu di berkata,
Terbaca jelas di layar, tanpa jeda.
Kubuat avatar dirimu, dalam realitas maya,
Di sana kutemui kamu, tanpa ragu dan bimbang.
Kita berdansa di bintang, di antara galaksi yang kaya,
Merasakan sentuhan data, yang begitu memanjang.
Namun kutahu, layar hanyalah ilusi semata,
Rindu ini nyata, melebihi segala data.
Ku ingin genggaman tangan, bukan sentuhan maya,
Bisikan di telinga, bukan algoritma belaka.
Maka kutinggalkan lab, kubiarkan kode berputar,
Mencari dirimu, di dunia yang sebenar.
Kuhapus semua program, kubuang segala filter,
Menuju padamu, dengan hati yang bergetar.
Karena cinta sejati, tak bisa disimulasikan,
Tak bisa diprogram, atau direplikasi.
Ia hadir spontan, tanpa perhitungan,
Melampaui batas logika, dan kalkulasi.
Kutemukan dirimu, di taman kota yang sepi,
Di bawah rembulan, yang bersinar tanpa henti.
Tanpa algoritma, tanpa data teruji,
Hanya debar jantung, yang berbicara sejati.
Kau tersenyum padaku, senyum yang kutunggu,
Senyum yang tak bisa, ditiru atau ditunggu.
Sentuhanmu nyata, bukan lagi bayang semu,
Dan algoritmaku runtuh, di hadapan cintamu.
Kini aku mengerti, bahasa cinta yang utama,
Bukan deretan kode, atau rangkaian skema.
Namun tatapan mata, sentuhan yang sederhana,
Yang terukir abadi, di relung jiwa yang berpena.