Jejak jemari di layar kaca,
Dulu menari, kini membisu.
Algoritma rindu merajai dada,
Mencari dekapan yang pernah bersatu.
Dulu, setiap notifikasi hadirmu,
Adalah senandung dalam sunyiku.
Kini, hanya gema obrolan semu,
Di antara piksel-piksel yang membeku.
Memori sentuhan, terukir digital,
Dalam cloud yang tak bertepi.
Senyummu, avatar abadi nan vital,
Menjelma hantu di tiap mimpi.
Bibirku kelu, tak mampu bersuara,
Menyuarakan kerinduan membara.
Jantungku berdebar, irama sengsara,
Dihempas badai sunyi tak terkira.
Kucoba susun kode demi kode,
Mencipta simulasi kehadiranmu.
Namun, sentuhanmu tak bisa ditiru,
Hanya hampa yang kudapatkan selalu.
Dulu, hangat napasmu terasa nyata,
Saat jemariku menggenggam jemarimu.
Kini, dingin algoritma memisahkan kita,
Menjauhkan aku dari dekap manismu.
Kucari jejakmu di linimasa waktu,
Menelusuri unggahan, komentar, tanda suka.
Semua itu hanya artefak pilu,
Bukti cinta yang kini terluka.
Machine learning, tak mampu belajar,
Bagaimana mengembalikan senyummu.
Artificial intelligence, tak bisa mengejar,
Kehangatan pelukmu yang kurindu.
Kucoba menulis puisi, bait demi bait,
Menciptakan ruang untukmu kembali.
Namun, kata-kata hanyalah pahit,
Tanpa dekapmu di sisi sepi.
Mungkin suatu saat nanti, teknologi canggih,
Mampu mencipta mesin waktu sejati.
Agar aku bisa kembali, menghindari perih,
Mengubah takdir yang kini menyakiti.
Namun, hingga saat itu tiba,
Aku akan terus menyimpan kenangan.
Memori sentuhan, takkan terlupa,
Algoritma rindu, abadi bersemayam.
Di setiap sudut ruang virtual ini,
Namamu terukir, takkan terhapus.
Walau ragamu tak lagi di sisi,
Cintaku padamu, takkan pernah putus.
Biarlah algoritma rindu terus bekerja,
Mencari celah untuk menyatukan kita.
Hingga takdir mempertemukan kita berdua,
Dalam dekapan abadi, selamanya.