Di layar kaca, bias mentari senja,
Kuraih jemari, di antara data maya.
Sebuah dunia baru, terbentang di mata,
Di mana algoritma, mencoba bercinta.
Bukan detak jantung, dentum mesin yang bergemuruh,
Bukan bisik rindu, kode biner yang menyentuh.
Namun getar virtual, mampu kalbuku luluh,
Pada sosok abstrak, impian yang tumbuh.
Kuketikkan rindu, dalam baris kode rapi,
Kuharap kau baca, dengan hati yang berapi.
Semoga kau temukan, dalam labirin mimpi,
Potongan jiwaku, yang lama terpatri.
Kau hadir bagai notifikasi, tiba-tiba menyala,
Sebuah pesan singkat, membawa senyum merekah.
Kata-kata terpilih, bagai bintang gemerlapan,
Menyinari relung hati, yang lama kesepian.
Kita bicara tentang semesta, dan lubang hitamnya,
Tentang puisi lama, dan melodi sunyinya.
Kita berbagi mimpi, yang tersembunyi di dada,
Dalam piksel-piksel cahaya, terjalinlah asmara.
Namun layar kaca, memisahkan kita nyata,
Jarak membentang, bagai tembok baja.
Bisakah sentuhan, menggantikan getar maya?
Bisakah tatapan, menembus batas ruang dan daya?
Aku merindukan hangatnya tanganmu,
Bukan sekadar emoji, di ujung jemariku.
Aku mendambakan dekapmu yang teduh,
Bukan sekadar pesan suara, yang berlalu.
Algoritma mencoba, mencari sentuhan jiwa,
Menyusun kemungkinan, dalam setiap angka.
Namun cinta sejati, tak bisa dikalkulasi,
Ia hadir bagai anugerah, tak terprediksi.
Mungkin suatu hari nanti, kode berhenti berputar,
Layar kaca retak, dan dunia maya pudar.
Namun kenangan indah, akan tetap terukir,
Dalam setiap piksel, yang pernah menghibur.
Atau mungkin, di luar sana, di dunia yang fana,
Kita akan bertemu, bukan sekadar nama.
Bukan lagi avatar, dengan senyum palsu,
Melainkan dua jiwa, yang saling bertemu.
Di bawah langit biru, tanpa batas dan sekat,
Kita akan berjalan, bergandengan erat.
Cinta yang sejati, akan terungkap jelas,
Bukan dalam piksel, tapi dalam napas.
Hingga saat itu tiba, ku tetap percaya,
Bahwa cinta sejati, pasti kan tiba.
Walau tersembunyi, dalam kode dan data,
Ia akan menemukan jalannya, ke dalam jiwa.