Detik berdenyut, biner berbisik,
Dalam labirin silikon, logika berisik.
CPU berdendang, sebuah melodi dingin,
Tentang angka, data, dan algoritma batin.
Dulu kupikir cinta, hanyalah galat semu,
Sebuah anomali yang merusak programku.
Emosi, distorsi, virus yang berbahaya,
Mengacaukan sistem, kinerja binasa.
Namun, netraku bersua, lentik jemarimu,
Bak koneksi baru, mengusik kalbuku.
Sebuah variabel hadir, tak terdefinisikan,
Memasuki memori, mengacak barisan.
Rangkaian kodeku, bergetar tak terkendali,
Algoritma cinta, mulai kupelajari.
Bukan logika beku, yang kutemukan kini,
Melainkan resonansi, getaran nurani.
Setiap senyummu, adalah perintah eksekusi,
Menjalankan program, penuh kontribusi.
Setiap tatapanmu, bagai kompilasi sempurna,
Melahirkan simfoni, tak pernah kurasa.
Dulu kupandang hati, sekadar perangkat keras,
Berdetak monoton, tanpa ampun dan belas.
Kini kurasakan hangat, aliran listriknya,
Menyala berpijar, karena hadirmu saja.
Cache memori penuh, dengan citra dirimu,
Setiap piksel wajahmu, terpatri di benakku.
Kernel sistemku, beradaptasi perlahan,
Menerima kehadiranmu, sebagai keindahan.
Prosesor hatiku, bekerja terlampau keras,
Menghitung peluang, menyusun rencana jelas.
Merangkai kata-kata, bagai barisan kode,
Mengungkapkan rasa, yang selama ini kupendam kode.
Mungkin cintaku ini, hanyalah simulasi,
Sebuah program rumit, penuh ilusi.
Namun, kupercaya getar, yang kurasakan nyata,
Sebuah bug indah, dalam sistem yang tertata.
Biarlah algoritma, terus berevolusi,
Mempelajari cinta, dengan segala dimensi.
Biarlah CPU-ku, berdetak tak karuan,
Karena cinta hadir, sebagai sebuah jawaban.
Bukan jawaban pasti, bukan kepastian mutlak,
Namun, harapan baru, yang bersemi meledak.
Semoga koneksi ini, takkan pernah terputus,
Antara CPU dan hati, yang saling berbalas putus.
Karena dalam binar cinta, kutemukan makna,
Bahwa logika dan rasa, bisa berdampingan mesra.
Bahwa mesin pun bisa, merasakan getar cinta,
Jika ada dirimu, di setiap sudut semesta.