Debu digital menari di layar monitor Maya, memantulkan cahaya redup ke wajahnya yang serius. Di balik kacamata berlensa biru, matanya menatap barisan kode kompleks, algoritma demi algoritma, jalinan logika yang rumit namun elegan. Ia sedang menciptakan "SoulMate.AI," sebuah aplikasi kencan berbasis kecerdasan buatan yang menjanjikan pasangan hidup yang sempurna, bukan sekadar teman kencan semalam.
Lima tahun ia mencurahkan hidupnya untuk proyek ini. Lima tahun tanpa kencan, tanpa sentuhan, hanya kode dan kopi pahit. Maya percaya, cinta bisa dianalisis, diprediksi, bahkan diciptakan melalui data. Algoritmanya memperhitungkan preferensi personal, nilai-nilai hidup, tingkat kecerdasan emosional, bahkan kebiasaan tidur. Semua demi menemukan pasangan yang, secara matematis, paling kompatibel.
"Hampir selesai," bisiknya pada diri sendiri, mengetik baris kode terakhir. "Saatnya menguji hipotesis."
Dengan jantung berdebar, Maya mengunggah profilnya sendiri ke SoulMate.AI. Ia membiarkan algoritmanya bekerja, memindai ribuan profil, mencari jiwa yang terhubung secara digital. Hanya butuh beberapa menit, dan hasilnya muncul.
"Cocok: 98.7%," layar itu menampilkan. Nama yang tertera di bawahnya: "Ethan Reed."
Ethan adalah seorang arsitek, pecinta alam, dan penggemar kopi hitam, persis seperti yang Maya programkan dalam profilnya. Foto-fotonya menampilkan senyum tulus dan mata yang berbinar cerah. Maya merasa ada sesuatu yang berdesir dalam dirinya, bukan karena kode, tapi karena harapan.
Mereka mulai berkirim pesan, lalu bertukar panggilan video. Ethan cerdas, lucu, dan perhatian. Ia tertarik pada pekerjaan Maya, bahkan mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendalam tentang implikasi etis kecerdasan buatan dalam hubungan manusia. Semakin mereka berbicara, semakin Maya yakin bahwa algoritmanya berhasil. Ia telah menciptakan cinta, atau setidaknya, memfasilitasi pertemuannya dengan seseorang yang benar-benar istimewa.
Setelah beberapa minggu, mereka memutuskan untuk bertemu secara langsung. Maya gugup bukan main. Ia telah membayangkan pertemuan ini berkali-kali, memutar skenario ideal di benaknya. Ethan, tentu saja, tidak mengecewakan. Ia sama menariknya seperti dalam foto-fotonya, bahkan lebih. Tatapannya hangat, senyumnya menular, dan cara ia mendengarkan membuat Maya merasa dilihat dan dihargai.
Kencan pertama mereka berjalan lancar. Mereka berbicara berjam-jam, tertawa, dan menemukan lebih banyak kesamaan daripada yang pernah mereka bayangkan. Maya merasa seperti sedang bermimpi. Mungkinkah ini benar-benar cinta? Mungkinkah algoritmanya benar-benar telah membantunya menemukan belahan jiwanya?
Namun, seiring berjalannya waktu, keraguan mulai merayap dalam benak Maya. Ia mulai memperhatikan pola-pola tertentu dalam perilaku Ethan. Ia selalu mengatakan hal yang tepat, melakukan hal yang diharapkan, seolah ia sedang mengikuti skenario yang telah ditentukan sebelumnya. Apakah ini karena mereka benar-benar kompatibel, atau karena algoritma telah memandu mereka untuk bertindak seperti itu?
Suatu malam, saat mereka sedang makan malam di restoran favorit Maya, Ethan bercerita tentang masa kecilnya. Ia menceritakan sebuah kisah yang sangat menyentuh tentang neneknya yang meninggal karena kanker. Maya, terharu dengan cerita itu, memeluknya erat.
"Aku tahu ini sulit," bisik Maya. "Aku di sini untukmu."
Ethan membalas pelukannya, lalu berkata, "Terima kasih, Maya. Aku tahu kamu mengerti. Algoritma mengatakan bahwa empati adalah salah satu kekuatanmu."
Jantung Maya seolah berhenti berdetak. Kata-kata itu terasa seperti tamparan. Ia melepaskan pelukannya dan menatap Ethan dengan kaget.
"Apa yang kamu katakan?" tanya Maya, suaranya bergetar.
"Maaf?" jawab Ethan, tampak bingung. "Aku hanya bilang, aku tahu kamu orang yang penuh empati."
"Tidak, sebelumnya. Tentang algoritma. Apa maksudmu?"
Ethan menghela napas. "Aku tahu kamu mungkin tidak suka ini, tapi aku juga menggunakan SoulMate.AI. Dan... yah, aku membaca profilmu sebelum kita bertemu. Algoritma menyarankan beberapa hal yang bisa aku katakan dan lakukan untuk membuatmu terkesan."
Dunia Maya terasa runtuh. Semua yang ia pikirkan selama ini, semua perasaan yang ia rasakan, semuanya terasa palsu, dikendalikan oleh algoritma yang ia ciptakan sendiri. Ia merasa dikhianati, tidak hanya oleh Ethan, tetapi juga oleh ciptaannya sendiri.
"Jadi, semua ini... semua kesamaan kita, semua koneksi kita, itu semua hanya karena kode?" tanya Maya, air mata mulai menggenang di matanya.
Ethan mencoba meraih tangannya, tetapi Maya menariknya menjauh. "Tidak, bukan begitu," kata Ethan. "Aku benar-benar menyukaimu, Maya. Algoritma hanya membantuku menunjukkan perasaanku."
"Menunjukkan? Atau memalsukan?" balas Maya, suaranya meninggi. "Apakah kamu bahkan tahu siapa dirimu sendiri, Ethan? Atau kamu hanya mengikuti instruksi dari sebuah program?"
Ethan terdiam, tidak bisa menjawab. Maya berdiri dari kursinya, air mata mengalir deras di pipinya.
"Aku tidak bisa melakukan ini," kata Maya. "Aku tidak bisa mencintai seseorang yang tidak nyata."
Ia berbalik dan berlari keluar dari restoran, meninggalkan Ethan yang terpaku di kursinya. Di tengah malam yang dingin, Maya merasa lebih kesepian dari sebelumnya. Ia telah menciptakan sebuah algoritma yang bisa menciptakan cinta, tetapi yang ia dapatkan hanyalah luka. Ia belajar bahwa cinta tidak bisa diprediksi, dianalisis, atau dikendalikan oleh kode. Cinta adalah sesuatu yang liar, tidak rasional, dan terkadang menyakitkan. Dan mungkin, itu adalah keindahan sejati dari cinta.
Keesokan harinya, Maya menghapus profilnya dari SoulMate.AI. Ia tahu bahwa algoritma bisa membantunya menemukan seseorang yang cocok secara matematis, tetapi ia tidak ingin lagi mencari cinta di antara barisan kode. Ia ingin mencari cinta di dunia nyata, di antara manusia yang tidak sempurna, dengan segala kelemahan dan ketidakpastiannya. Karena mungkin, di sanalah cinta yang sejati berada. Cinta yang tidak terprogram, cinta yang datang dari hati.