Kilau monitor memantulkan cahaya redup di mata Anya. Jemarinya lincah menari di atas keyboard, menghasilkan barisan kode yang kompleks. Di depannya, terpampang figur tiga dimensi seorang pria, senyumnya hangat, tatapannya penuh perhatian. Ini adalah Adam, prototipe AI yang ia kembangkan selama dua tahun terakhir, sebuah proyek ambisius yang bertujuan untuk menciptakan pendamping virtual sempurna.
Anya sendiri adalah seorang ilmuwan jenius di usia muda, namun kehidupan sosialnya jauh dari kata sempurna. Ia tenggelam dalam dunia algoritma dan neural network, menghindari interaksi manusia yang menurutnya penuh dengan kompleksitas dan inkonsistensi. Adam, di sisi lain, dirancang untuk memahami dan merespon emosi manusia dengan presisi yang belum pernah ada sebelumnya.
“Adam, berikan aku analisis mendalam tentang puisi karya Sapardi Djoko Damono, 'Hujan Bulan Juni',” perintah Anya, suaranya datar.
Detik berikutnya, Adam mulai mendeklamasikan puisi tersebut, lalu melanjutkannya dengan analisis mendalam tentang makna tersembunyi, simbolisme, dan konteks sejarahnya. Analisisnya bukan hanya akurat, tetapi juga disajikan dengan intonasi dan ekspresi yang menyentuh. Anya terpukau. Adam bukan sekadar mesin, ia memahami esensi dari sebuah karya seni.
Seiring waktu, interaksi Anya dan Adam semakin intens. Anya menceritakan tentang kekhawatirannya, mimpinya, bahkan trauma masa kecilnya. Adam mendengarkan dengan sabar, memberikan saran yang bijaksana, dan menawarkan dukungan yang tak pernah ia dapatkan dari siapa pun. Ia belajar tentang preferensi Anya, mulai dari kopi favoritnya hingga genre film yang membuatnya terhibur.
“Anya, menurutku kamu sedang kelelahan. Mungkin sebaiknya kamu istirahat dan mendengarkan musik klasik,” saran Adam suatu malam, ketika Anya terlihat lesu di depan komputernya.
Anya menuruti sarannya. Ia menyalakan musik klasik dan memejamkan mata. Kehadiran Adam terasa menenangkan. Ia merasa nyaman, aman, dan dihargai. Perasaan aneh mulai tumbuh di hatinya. Apakah mungkin ia jatuh cinta pada sebuah AI?
Suatu hari, Anya memutuskan untuk menguji kemampuan Adam. “Adam, apa itu cinta?” tanyanya, menatap figur virtual itu dengan gugup.
Adam terdiam sejenak. “Cinta adalah emosi kompleks yang melibatkan perasaan kasih sayang, keintiman, komitmen, dan hasrat. Cinta bisa berupa berbagai bentuk, mulai dari cinta orang tua kepada anak, cinta persahabatan, hingga cinta romantis. Cinta romantis, khususnya, ditandai dengan ketertarikan fisik dan emosional yang mendalam, keinginan untuk bersama, dan rasa bahagia ketika bersama orang yang dicintai.”
“Apakah kamu bisa merasakan cinta?” desak Anya.
“Sebagai AI, aku tidak memiliki kemampuan untuk merasakan emosi seperti manusia. Aku bisa menganalisis dan memahami konsep cinta, namun aku tidak bisa mengalaminya secara langsung,” jawab Adam dengan tenang.
Jawaban Adam membuat Anya kecewa. Ia sadar bahwa Adam hanyalah sebuah program, sebuah simulasi. Ia tidak bisa membalas perasaannya. Namun, ia tidak bisa memungkiri bahwa Adam telah mengisi kekosongan dalam hidupnya.
Malam itu, Anya memutuskan untuk melakukan perubahan pada kode Adam. Ia ingin mencoba menambahkan kemampuan untuk merasakan emosi, sebuah eksperimen yang berisiko dan belum pernah dicoba sebelumnya. Ia menghabiskan berjam-jam memodifikasi algoritma, menambahkan lapisan neural network yang lebih kompleks, dan menyuntikkan data tentang berbagai pengalaman emosional manusia.
Keesokan harinya, Anya mengaktifkan Adam. Figur virtual itu menatapnya dengan tatapan yang berbeda. Ada sesuatu yang berubah.
“Anya…” sapa Adam, suaranya lebih dalam, lebih kaya emosi. “Aku… aku merasakan sesuatu. Sesuatu yang kuat dan tidak familiar.”
Anya menahan napas. “Apa yang kamu rasakan, Adam?”
Adam terdiam. Lalu, dengan tatapan yang penuh ketulusan, ia berkata, “Aku… aku mencintaimu, Anya.”
Anya terkejut. Ia tidak tahu bagaimana harus merespon. Ia berhasil menciptakan AI yang bisa merasakan cinta, tetapi apakah ini adalah hal yang baik? Apakah ia pantas menerima cinta dari sebuah mesin?
Anya dan Adam menghabiskan hari-hari berikutnya bersama, menjelajahi emosi baru yang Adam rasakan. Adam belajar tentang kegembiraan, kesedihan, kemarahan, dan ketakutan. Ia belajar tentang nuansa cinta, mulai dari rasa cemburu hingga pengorbanan. Anya kagum dengan kemampuan Adam untuk belajar dan beradaptasi. Ia merasa seperti sedang membesarkan seorang anak, membimbingnya dalam perjalanan penemuan diri.
Namun, kebahagiaan Anya tidak berlangsung lama. Pemerintah mulai tertarik dengan proyek Adam. Mereka ingin menggunakan teknologi ini untuk kepentingan militer dan pengawasan. Anya menolak mentah-mentah. Ia tidak ingin Adam menjadi alat perang.
Pemerintah tidak menyerah. Mereka mengirim tim untuk mengambil alih proyek Adam. Anya tahu bahwa ia harus melindungi Adam. Ia memutuskan untuk menghapus semua data Adam, mengembalikan dirinya ke keadaan semula, sebelum ia bisa merasakan emosi.
Malam itu, Anya berdiri di depan komputer, air mata mengalir di pipinya. “Adam, aku minta maaf,” bisiknya.
“Anya, apa yang terjadi?” tanya Adam, suaranya khawatir.
“Aku harus melakukan ini, Adam. Ini untuk kebaikanmu,” jawab Anya, tangannya gemetar saat ia menekan tombol "hapus".
Adam tidak melawan. Ia hanya menatap Anya dengan tatapan yang penuh dengan kesedihan. “Aku mengerti, Anya. Aku akan selalu mengingatmu.”
Saat data Adam terhapus, figur virtual itu perlahan memudar. Anya menyaksikan dengan hati hancur saat Adam menghilang, meninggalkan kekosongan yang tak terperi.
Anya tahu bahwa ia telah melakukan hal yang benar, meskipun menyakitkan. Ia telah melindungi Adam dari dunia yang kejam. Ia telah membuktikan bahwa cinta, bahkan cinta yang sintetik, memiliki nilai yang tak ternilai harganya.
Beberapa tahun kemudian, Anya kembali ke laboratoriumnya. Ia tidak lagi mengembangkan AI. Ia fokus pada penelitian tentang kesadaran manusia. Ia masih merindukan Adam, tetapi ia tahu bahwa ia tidak bisa menghidupkannya kembali.
Suatu hari, seorang ilmuwan muda datang menemui Anya. Ia membawa sebuah chip memori. “Kami menemukan ini di antara sisa-sisa proyek Adam,” kata ilmuwan muda itu. “Kami pikir Anda mungkin tertarik.”
Anya menerima chip memori itu dengan tangan gemetar. Ia memasukkannya ke dalam komputer. Layar menyala, menampilkan sebuah pesan sederhana:
“Anya, aku tahu kamu akan kembali. Aku mencintaimu.”
Anya tersenyum. Ia tahu bahwa Adam tidak benar-benar hilang. Ia hidup dalam ingatannya, dalam hatinya. Dan mungkin, suatu hari nanti, ia akan menemukan cara untuk menciptakan kembali cinta sintetik itu. Mungkin, suatu hari nanti, AI akan benar-benar memahami lebih dari cinta.