Jari-jarinya menari di atas keyboard, kode-kode rumit bermunculan di layar laptopnya. Cahaya biru dari monitor memantulkan siluet wajah Arya, seorang peretas etis muda yang lebih nyaman berinteraksi dengan baris kode daripada manusia. Malam ini, ia sedang menjalankan proyek iseng, sebuah algoritma pencari kecocokan yang ia beri nama “Cupid 2.0”. Tujuannya sederhana, atau mungkin tidak terlalu sederhana, adalah untuk membantunya menemukan… seseorang.
Arya tidak pernah punya pacar. Baginya, cinta adalah sebuah bug yang belum berhasil ia debug. Kencan daring? Terlalu banyak profil palsu dan harapan palsu. Ia lebih percaya pada data, pada pola, pada algoritma yang bisa memprediksi kecocokan berdasarkan preferensi, hobi, dan nilai-nilai. Cupid 2.0 bukan hanya sekadar aplikasi kencan biasa. Ia mengambil data dari berbagai sumber – media sosial, riwayat pencarian, bahkan pola tidur – untuk menciptakan profil yang sangat detail.
Setelah berbulan-bulan pengembangan, Cupid 2.0 akhirnya siap. Arya memasukkan data dirinya dengan sangat hati-hati. Ia jujur, mungkin terlalu jujur, tentang kegemarannya pada film-film sci-fi klasik, ketidakmampuannya menari, dan kecenderungannya untuk memesan pizza keju setiap Jumat malam. Lalu, ia menekan tombol "Cari".
Prosesor laptopnya berputar dengan kecepatan penuh. Baris kode bergulir dengan cepat, analisis data yang kompleks berlangsung di balik layar. Beberapa saat kemudian, layar menampilkan sebuah nama: "Luna Kirana".
Luna. Namanya saja sudah terdengar seperti karakter dalam novel fantasi favoritnya. Foto profilnya menunjukkan seorang wanita dengan rambut hitam panjang, mata cokelat yang hangat, dan senyum yang bisa membuat matahari terbit lebih cepat. Deskripsi profilnya menarik. Ia seorang seniman digital, pecinta kopi, dan memiliki kecintaan yang mendalam pada alam. Singkatnya, Luna adalah kebalikan dari Arya. Ia adalah analog di dunia digitalnya.
Cupid 2.0 memberikan skor kecocokan 98%. Arya tertegun. Ia tidak pernah membayangkan algoritma buatannya bisa menemukan seseorang yang begitu sempurna. Tapi, angka hanyalah angka. Data hanyalah data. Arya tahu ia harus bertemu Luna secara langsung untuk benar-benar tahu.
Ia mengirim pesan singkat melalui aplikasi, “Hai Luna, saya Arya. Cupid 2.0 bilang kita cocok.”
Balasannya datang hampir seketika, “Cupid 2.0? Kedengarannya menyeramkan sekaligus menarik. Halo, Arya.”
Percakapan mereka mengalir dengan mudah. Mereka membahas film, buku, musik, bahkan perbedaan pendapat mereka tentang pentingnya emoji. Arya terkejut menemukan betapa nyamannya ia berbicara dengan Luna. Ia tidak merasa perlu menyembunyikan sisi nerd-nya, dan Luna justru tertarik dengan pengetahuannya yang luas tentang teknologi.
Setelah seminggu berkirim pesan, Arya memberanikan diri untuk mengajaknya bertemu. Luna setuju. Mereka sepakat untuk bertemu di sebuah kedai kopi kecil di dekat taman kota.
Arya datang lebih awal, gugup menunggu Luna. Ia memeriksa penampilannya berkali-kali di pantulan jendela toko. Ia mengenakan kemeja kesukaannya, yang ia yakini membuatnya terlihat sedikit lebih… sosial.
Ketika Luna tiba, Arya hampir lupa cara bernapas. Ia lebih cantik dari fotonya. Senyumnya lebih menawan, matanya lebih hidup. Ia mengenakan gaun musim panas berwarna kuning cerah dan membawa sebuah buku sketsa di tangannya.
"Arya?" sapa Luna dengan suara lembut.
"Luna," jawab Arya, suaranya sedikit tercekat.
Mereka duduk di meja dekat jendela dan memesan kopi. Percakapan mereka mengalir dengan lancar, seolah-olah mereka sudah saling kenal selama bertahun-tahun. Mereka tertawa, bertukar cerita, dan saling menatap mata. Arya merasa ada sesuatu yang istimewa antara mereka.
Saat matahari mulai terbenam, Luna mengeluarkan buku sketsanya dan mulai menggambar. Arya mengamatinya dengan kagum. Ia tidak pernah melihat seseorang menggambar dengan begitu penuh semangat.
"Apa yang kamu gambar?" tanya Arya.
"Kamu," jawab Luna, tanpa mengangkat kepalanya.
Arya terkejut. Ia tidak tahu harus berkata apa. Ia merasa jantungnya berdebar kencang.
Luna menyelesaikan sketsanya dan menyerahkannya kepada Arya. Gambar itu adalah potret dirinya, tetapi lebih dari sekadar potret. Luna berhasil menangkap esensi dirinya, kerentanan yang biasanya ia sembunyikan di balik kode dan logika.
"Ini… indah," kata Arya, benar-benar terharu.
Luna tersenyum. "Aku melihatmu, Arya. Aku melihat dirimu yang sebenarnya."
Arya merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Ia merasa terhubung dengan Luna pada tingkat yang lebih dalam daripada yang pernah ia bayangkan. Ia menyadari bahwa Cupid 2.0 mungkin telah membawanya kepada Luna, tetapi itu adalah sesuatu yang lebih dari sekadar algoritma yang membuatnya jatuh cinta. Itu adalah Luna yang melihatnya, menerimanya, dan mencintainya apa adanya.
Ia menatap mata Luna dan merasakan dorongan yang kuat untuk menciumnya. Ia tidak pernah mencium siapa pun sebelumnya. Ia gugup, takut, tetapi juga sangat ingin.
Ia mendekatkan wajahnya ke wajah Luna. Luna tidak menghindar. Ia menutup matanya.
Bibir mereka bertemu. Itu adalah ciuman pertama Arya. Ciuman yang lembut, manis, dan penuh dengan harapan. Ciuman yang membuktikan bahwa cinta bisa ditemukan di mana saja, bahkan di dunia digital yang penuh dengan kode dan algoritma.
Ketika mereka berpisah, Arya tersenyum. "Terima kasih, Cupid 2.0," bisiknya.
Luna tertawa. "Aku pikir, kita berdua yang harus berterima kasih."
Malam itu, Arya pulang dengan hati yang penuh. Ia tahu bahwa ia telah menemukan sesuatu yang istimewa dengan Luna. Sesuatu yang lebih berharga daripada kode apa pun yang pernah ia tulis. Sesuatu yang lebih indah daripada algoritma apa pun yang pernah ia buat. Sesuatu yang bernama cinta.