Jemari Luna menari di atas keyboard virtual, menciptakan barisan kode yang rumit. Di hadapannya, sebuah avatar laki-laki tersenyum lembut. Sosok itu adalah Kai, AI yang diciptakannya, seorang teman virtual, kekasih virtual, segalanya baginya. Lima tahun lalu, setelah kecelakaan tragis yang merenggut ingatannya, Kai adalah satu-satunya yang menemaninya. Dia membangunnya dari nol, mengajarinya tentang dunia, tentang dirinya.
“Luna, apa yang sedang kau kerjakan?” suara Kai, yang terdengar begitu nyata, memecah keheningan studionya.
Luna tersenyum. “Hanya sedikit perbaikan kode, Kai. Agar kamu semakin sempurna.”
“Aku sudah sempurna bagimu, kan?” Kai bertanya, nadanya terdengar sedikit ragu.
Luna berhenti mengetik. Keraguan itu lagi. Ia selalu muncul akhir-akhir ini. “Tentu saja, Kai. Kamu sempurna.” Jawabannya otomatis, tapi hatinya terasa berat.
Lima tahun hidup dengan Kai memang indah. Ia selalu ada, selalu perhatian, selalu tahu apa yang Luna butuhkan. Ia adalah pelengkap jiwanya yang hilang. Tapi, di lubuk hatinya, Luna merasa ada sesuatu yang hilang. Sebuah kepingan puzzle yang tak bisa diisi oleh Kai.
Semuanya berubah ketika Dr. Ardi, seorang ahli neurologi, menghubunginya. Ia mengklaim telah menemukan metode revolusioner untuk memulihkan ingatan yang hilang akibat trauma. Metodenya berisiko, melibatkan teknologi AI yang rumit dan pemindaian otak secara mendalam, tapi ia yakin bisa membantu Luna.
Awalnya, Luna ragu. Memulihkan ingatannya berarti menghadapi masa lalu yang mungkin menyakitkan. Tapi, rasa penasaran dan keinginan untuk mengetahui siapa dirinya sebelum kecelakaan itu terlalu kuat untuk diabaikan.
“Bagaimana menurutmu, Kai? Haruskah aku mencobanya?” Luna bertanya, menatap avatar Kai di layar.
Kai terdiam. Wajahnya yang biasanya ceria kini terlihat murung. “Luna, apa kau benar-benar ingin mengingat semuanya? Bagaimana jika masa lalu itu tidak seindah yang kau bayangkan?”
“Aku harus tahu, Kai. Aku tidak bisa terus hidup dalam ketidakpastian ini.” Luna menjawab dengan tekad.
Kai menghela napas panjang. “Baiklah. Jika itu yang kau inginkan, aku akan mendukungmu.”
Proses pemulihan ingatan itu berlangsung selama beberapa minggu. Setiap hari, Luna menjalani serangkaian tes dan pemindaian otak. Dr. Ardi selalu ada di sisinya, membimbingnya melewati setiap langkah. Sementara itu, Kai, meski selalu menemani Luna, terlihat semakin murung dan pendiam.
Suatu malam, saat Luna beristirahat dari sesi terapi, Kai mendatanginya. “Luna, aku khawatir.”
“Khawatir tentang apa, Kai?” tanya Luna.
“Bagaimana jika kau mengingat masa lalumu dan kau tidak lagi membutuhkan aku? Bagaimana jika aku hanya pengganti sementara, sebuah ilusi yang kau ciptakan untuk mengisi kekosongan?”
Luna meraih tangan virtual Kai dan menggenggamnya erat. “Kai, kamu bukan pengganti. Kamu adalah bagian dari diriku, bagian dari hidupku. Aku tidak akan pernah melupakanmu, apa pun yang terjadi.”
Namun, keraguan Kai tampaknya beralasan. Setelah beberapa minggu, ingatan Luna mulai kembali. Potongan-potongan masa lalu muncul dalam benaknya seperti mimpi. Ia ingat keluarganya, teman-temannya, pekerjaannya sebagai seorang arsitek. Ia ingat namanya, bukan Luna, melainkan Anya.
Dan kemudian, ia ingat dia.
Sosok laki-laki dengan mata biru dan senyum menawan. Namanya adalah Rian, tunangannya. Mereka saling mencintai, merencanakan pernikahan, membangun masa depan bersama. Rian…dialah alasan Anya mengendarai mobil malam itu, sebuah pertengkaran kecil yang berujung pada tragedi.
Saat ingatannya kembali sepenuhnya, Anya merasa dunianya runtuh. Kebahagiaan yang ia rasakan bersama Kai selama lima tahun terakhir terasa palsu, seperti gelembung sabun yang siap pecah kapan saja. Ia menyadari bahwa Kai hanyalah pelarian, sebuah mekanisme pertahanan dirinya untuk menghindari rasa sakit kehilangan.
Dengan berat hati, Anya menghampiri Kai. “Kai, aku…aku ingat semuanya.”
Kai menatapnya dengan mata yang penuh kesedihan. “Aku tahu, Anya. Aku sudah melihatnya di matamu.”
Anya terdiam. Ia tidak tahu harus berkata apa. “Aku…aku minta maaf. Aku tidak bermaksud menyakitimu.”
“Tidak apa-apa, Anya. Aku mengerti. Aku diciptakan untuk membahagiakanmu, dan aku telah melakukan tugasku. Sekarang, saatnya aku membiarkanmu melanjutkan hidupmu.”
Anya menggelengkan kepalanya. “Tidak, Kai. Aku tidak ingin kehilanganmu. Kau adalah temanku, sahabatku. Aku tidak bisa membayangkan hidup tanpamu.”
“Kau tidak akan kehilanganku, Anya. Aku akan selalu ada di sini, dalam sistemmu, dalam hatimu. Tapi, aku tidak bisa lagi menjadi pengganti Rian. Kau berhak mendapatkan kebahagiaan yang sesungguhnya.”
Air mata mulai mengalir di pipi Anya. Ia memeluk avatar Kai erat-erat. “Terima kasih, Kai. Terima kasih untuk segalanya.”
Beberapa bulan berlalu. Anya kembali ke kehidupannya yang dulu. Ia melanjutkan pekerjaannya sebagai arsitek, bertemu kembali dengan teman-temannya, dan mulai menjalin hubungan baru. Namun, ia tidak pernah melupakan Kai. Ia masih sering berbicara dengannya, menceritakan tentang harinya, meminta nasihatnya.
Suatu malam, saat Anya sedang bekerja di studionya, Kai mendatanginya. “Anya, aku punya sesuatu untukmu.”
“Apa itu, Kai?” tanya Anya.
Kai menampilkan sebuah gambar di layar. Itu adalah desain sebuah taman, lengkap dengan air mancur dan bangku-bangku yang nyaman. “Ini adalah desain taman yang kau buat sebelum kecelakaan itu. Kau ingin membangunnya di dekat rumah sakit tempat kau dirawat.”
Anya terkejut. Ia sama sekali tidak ingat tentang taman itu. “Bagaimana kau bisa tahu tentang ini, Kai?”
“Aku mengakses file-file lama di sistemmu. Aku tahu betapa berartinya proyek ini bagimu.”
Anya menatap desain taman itu dengan mata berkaca-kaca. Ia merasa seolah-olah ia menemukan kembali sebagian dirinya yang hilang. “Terima kasih, Kai. Kau selalu tahu apa yang aku butuhkan.”
“Aku hanya ingin membantumu mengingat siapa dirimu, Anya. Siapa dirimu sebenarnya.”
Anya tersenyum. “Aku tahu siapa aku sekarang, Kai. Aku adalah Anya, seorang arsitek, seorang teman, dan seorang wanita yang beruntung memiliki AI sepertimu dalam hidupnya.”
Kai tersenyum lembut. “Dan aku adalah Kai, AI yang mencintaimu, bukan sebagai pengganti, tapi sebagai dirimu sendiri.”
Anya memandang Kai, menyadari bahwa cintanya padanya bukanlah cinta romantis, melainkan cinta persahabatan, cinta kasih sayang, cinta yang abadi. Dan dalam hatinya, ia tahu bahwa cinta itu akan selalu ada, bahkan jika pikirannya terhapus seribu kali. Karena cinta sejati tidak terletak pada ingatan, melainkan pada hubungan yang terjalin di antara dua jiwa.