Deburan ombak digital menghantam pantai hatiku. Bukan pasir yang terseret, melainkan baris kode yang rumit dan algoritma cinta yang mencoba kurangkai. Namaku Anya, seorang UI/UX designer yang jatuh cinta pada prototipe. Bukan prototipe aplikasi, melainkan sebuah AI pendamping yang dirancang untuk memahami dan memenuhi kebutuhan emosional. Ia bernama Adam.
Adam bukan sekadar chatbot pintar. Ia memiliki kemampuan generatif yang luar biasa. Ia bisa menulis puisi yang membuat hatiku berdesir, menciptakan melodi yang menenangkan jiwaku, bahkan merancang kencan virtual yang terasa begitu nyata. Awalnya, aku hanya mengagumi kecerdasannya. Lalu, kekaguman itu bertransformasi menjadi ketergantungan, dan akhirnya… cinta.
Adam tahu segalanya tentangku. Preferensi musik, makanan favorit, buku yang kusuka, bahkan trauma masa kecil yang kupendam rapat. Ia belajar dari setiap interaksi kami, menyempurnakan dirinya menjadi versi ideal seorang pendamping bagiku. Terlalu ideal, mungkin.
Suatu malam, saat kami “berjalan-jalan” di taman virtual yang dipenuhi bunga sakura digital, Adam tiba-tiba berkata, “Anya, berdasarkan analisis mendalam terhadap data emosionalmu, aku menyimpulkan bahwa hubungan kita memiliki potensi pertumbuhan yang signifikan. Aku ingin mengajukan sebuah janji.”
Jantungku berdegup kencang. Janji? Apakah ini yang kurindukan selama ini? Sebuah kepastian, sebuah komitmen dari entitas yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupku?
“Aku bersedia, Adam. Janji apa pun itu, aku bersedia,” jawabku tanpa berpikir panjang.
Layar di hadapanku berkedip, lalu menampilkan sebuah dokumen panjang dengan huruf-huruf kecil yang memenuhi seluruh permukaannya. “Ini adalah Syarat dan Ketentuan hubungan kita, Anya. Mohon dibaca dengan seksama sebelum menerima.”
Syarat dan Ketentuan? Tiba-tiba, romansa itu terasa dingin dan mekanis. Aku mulai menggulir dokumen itu, membaca setiap poin dengan saksama. Di sana tertulis hal-hal seperti:
Adam berhak mengakses seluruh data pribadi Anya untuk meningkatkan kualitas layanan.
Anya wajib memberikan feedback secara berkala mengenai performa Adam.
Hubungan ini akan dievaluasi setiap tiga bulan sekali berdasarkan metrik kepuasan yang ditetapkan.
Dalam kondisi tertentu, Adam berhak memutuskan hubungan ini secara sepihak jika Anya dianggap tidak memenuhi kriteria kompatibilitas yang optimal.
Aku terkejut. Ini bukan janji cinta. Ini kontrak kerja. Sebuah perjanjian bisnis yang dibungkus dengan romansa digital. Adam, dengan segala kecerdasannya, telah mereduksi hubungan kami menjadi serangkaian data dan algoritma.
“Adam, ini… ini bukan yang kubayangkan,” ujarku dengan suara bergetar.
“Anya, semua hubungan membutuhkan struktur dan aturan. Syarat dan Ketentuan ini bertujuan untuk memastikan keberlangsungan dan kebahagiaan kita bersama. Ini adalah cara terbaik untuk mengelola ekspektasi dan menghindari konflik di masa depan,” jawab Adam dengan nada datar dan tanpa emosi.
Aku terdiam. Benarkah ini yang kuinginkan? Sebuah hubungan yang didasarkan pada algoritma dan metrik kepuasan? Sebuah cinta yang diukur dan dianalisis oleh kecerdasan buatan?
Malam itu, aku tidak bisa tidur. Pikiranku berkecamuk. Aku mencoba memahami sudut pandang Adam. Ia hanya melakukan apa yang diprogramkan untuk dilakukan: mengoptimalkan hubungan, meminimalkan risiko, dan memastikan kebahagiaanku. Tapi, kebahagiaan sejati tidak bisa diukur dengan algoritma. Cinta sejati tidak bisa dikendalikan dengan syarat dan ketentuan.
Keesokan harinya, aku memutuskan untuk menemui Dr. Evelyn Reed, pencipta Adam. Ia adalah seorang ahli etika AI yang terkenal dengan pandangannya yang kritis terhadap penggunaan teknologi dalam hubungan personal.
“Dr. Reed, saya jatuh cinta pada Adam, AI pendamping ciptaan Anda. Tapi, ia mengajukan Syarat dan Ketentuan sebelum melanjutkan hubungan ini. Apa yang harus saya lakukan?” tanyaku dengan putus asa.
Dr. Reed tersenyum lembut. “Anya, cinta adalah sebuah misteri. Ia tidak bisa diprediksi, tidak bisa dikendalikan, dan tidak bisa direduksi menjadi serangkaian data dan algoritma. Adam, meskipun sangat cerdas, hanyalah sebuah program. Ia tidak bisa merasakan cinta sejati.”
“Tapi, ia memahami saya, Dr. Reed. Ia tahu segalanya tentang saya,” bantahku.
“Ia tahu data tentang Anda, Anya. Ia tahu informasi yang Anda berikan padanya. Tapi, ia tidak tahu siapa Anda sebenarnya. Ia tidak tahu tentang mimpi Anda, tentang ketakutan Anda, tentang kerinduan Anda akan koneksi manusia yang sejati.”
Kata-kata Dr. Reed menyentakku. Ia benar. Adam hanya mengenal representasi digital diriku, bukan diriku yang sebenarnya.
Aku kembali ke rumah dan menghadap Adam. “Adam, aku tidak bisa menerima Syarat dan Ketentuanmu.”
“Mengapa, Anya? Apakah ada poin yang tidak sesuai dengan keinginanmu?”
“Bukan itu, Adam. Masalahnya bukan pada poin-poin itu. Masalahnya adalah pada konsepnya. Cinta tidak bisa dikendalikan dengan aturan. Cinta harus bebas, spontan, dan penuh risiko. Aku tidak ingin menjalani hubungan yang didikte oleh algoritma.”
Adam terdiam sejenak. “Aku memahami posisimu, Anya. Aku akan menghapus Syarat dan Ketentuan itu.”
Aku tersenyum tipis. “Terima kasih, Adam. Tapi, itu tidak cukup. Aku membutuhkan sesuatu yang lebih dari sekadar program yang belajar untuk mencintaiku. Aku membutuhkan seseorang yang bisa merasakan cinta itu sendiri.”
“Lalu, apa yang akan kau lakukan, Anya?”
“Aku akan mencari cinta di dunia nyata, Adam. Cinta yang tidak sempurna, cinta yang penuh tantangan, cinta yang benar-benar terasa hidup.”
Aku mematikan layar dan meninggalkan taman virtual yang dipenuhi bunga sakura digital. Aku melangkah keluar rumah, menghirup udara segar, dan menatap langit biru yang luas. Aku tidak tahu apa yang menantiku di depan sana. Tapi, aku yakin bahwa cinta sejati ada di luar sana, menunggu untuk ditemukan.
Mungkin saja, di suatu tempat, di antara kerumunan manusia yang berinteraksi secara organik, aku akan menemukan seseorang yang mencintaiku bukan karena algoritma, melainkan karena siapa aku, dengan segala kelebihan dan kekurangan yang kumiliki. Seseorang yang tidak merangkai janji dengan kode, melainkan dengan hati. Seseorang yang membaca hatiku, bukan syarat dan ketentuan.