Aplikasi "SoulMate AI" itu berdering pelan di pergelangan tanganku, notifikasi lembut yang berjanji solusi bagi masalah klise abad ini: bagaimana cara membuat kencan kedua dengan Nadia menjadi lebih berkesan? Aku, Arya, seorang programmer garis keras yang lebih akrab dengan baris kode daripada rayuan maut, jelas membutuhkan bantuan. Kencan pertama kami, meski tidak buruk, terasa… hambar. Nadia cantik, cerdas, dan menyukai kopi pahit sepertiku, tapi percakapan kami lebih terasa seperti wawancara kerja daripada percikan asmara.
SoulMate AI bukan sembarang aplikasi kencan. Ia menggunakan algoritma canggih untuk menganalisis data personal, preferensi, dan bahkan ekspresi wajah selama kencan pertama, lalu menyajikan saran personalisasi untuk meningkatkan interaksi. Awalnya aku skeptis, tapi rasa putus asa mengalahkan segalanya. Aku ingin Nadia terkesan, aku ingin kesempatan kedua.
Aplikasi itu merekomendasikan aku untuk mengganti lokasi kencan kedua. Bukan lagi kafe dengan suasana bising, melainkan taman botani yang tenang dengan air mancur menenangkan. SoulMate AI menganalisis bahwa Nadia merespons positif terhadap elemen alam dan ketenangan visual selama kencan pertama. Kemudian, aplikasi itu menyarankan beberapa topik percakapan yang bisa memicu minat Nadia: tentang novel favoritnya, ketertarikannya pada astronomi, dan mimpinya untuk mendaki gunung Bromo.
Aku mengikuti semua instruksi dengan cermat. Sabtu sore itu, aku menjemput Nadia di apartemennya dan membawanya ke taman botani. Mata Nadia berbinar saat melihat bunga-bunga yang bermekaran. “Tempat ini indah sekali, Arya. Terima kasih,” ujarnya dengan senyum tulus.
Aku menarik napas dalam-dalam dan memulai percakapan sesuai dengan saran SoulMate AI. “Aku ingat kamu pernah cerita tentang novel fantasi yang kamu sukai. Ada perkembangan cerita yang menarik?” tanyaku, berusaha terdengar alami.
Nadia langsung antusias menceritakan plot twist terbaru dari novel kesukaannya. Matanya berbinar-binar, tangannya bergerak-gerak saat menjelaskan. Aku mendengarkan dengan seksama, sesekali menyela dengan pertanyaan relevan, yang juga disarankan oleh aplikasi.
Percakapan kami mengalir dengan lancar. Dari novel fantasi, kami beralih ke astronomi. Aku menunjukkan padanya konstelasi Ursa Major yang samar-samar terlihat di langit sore. Aku bahkan mengingat beberapa fakta menarik tentang bintang yang diberikan oleh SoulMate AI. Nadia terkesan dengan pengetahuanku.
Saat kami duduk di bangku taman, menikmati pemandangan air mancur yang menari-nari, aku memberanikan diri untuk menyinggung mimpinya mendaki gunung Bromo. “Aku dengar kamu ingin mendaki Bromo. Kapan rencananya?”
Nadia menghela napas. “Itu masih mimpi, Arya. Aku belum punya teman untuk mendaki dan aku takut mendaki sendirian.”
Aku terdiam sejenak. SoulMate AI tidak memberikan saran untuk situasi ini. Aku harus bertindak berdasarkan instingku. “Aku… aku bisa menemanimu,” ujarku gugup. “Aku belum pernah mendaki gunung, tapi aku bersedia belajar dan menemani kamu.”
Mata Nadia membulat. “Benarkah, Arya? Kamu serius?”
Aku mengangguk mantap. “Serius. Aku ingin melihat Bromo bersamamu.”
Senyum Nadia merekah. “Itu… itu ide yang bagus. Terima kasih, Arya.”
Sore itu, aku merasa ada sesuatu yang berubah dalam hubungan kami. Bukan hanya karena saran dari SoulMate AI, tapi karena keberanianku untuk menawarkan diri, untuk menjadi bagian dari mimpinya. Aku menyadari bahwa aplikasi itu hanyalah alat bantu, bukan penentu utama. Yang terpenting adalah ketulusan dan kemauan untuk membuka diri.
Beberapa minggu kemudian, aku dan Nadia berdiri di puncak Bromo, menyaksikan matahari terbit yang spektakuler. Udara dingin menusuk kulit, tapi hati kami hangat oleh kebahagiaan. Kami berpegangan tangan, menyaksikan lukisan alam yang memukau itu.
“Terima kasih sudah menemaniku, Arya,” bisik Nadia di telingaku. “Ini adalah pengalaman yang tak terlupakan.”
Aku membalasnya dengan senyuman. “Terima kasih juga sudah mengajakku. Aku tidak akan pernah melupakan momen ini.”
Saat kami turun dari Bromo, aku teringat SoulMate AI. Aku membuka aplikasinya dan melihat data yang dikumpulkan selama pendakian. Aplikasi itu mencatat peningkatan signifikan dalam indikator "kedekatan emosional" dan "kompatibilitas jangka panjang". Tapi, angka-angka itu tidak berarti apa-apa dibandingkan dengan perasaan yang kurasakan saat ini.
Aku menutup SoulMate AI. Aku tidak membutuhkannya lagi. Aku sudah menemukan koneksi yang nyata dan mendalam dengan Nadia, koneksi yang lebih dari sekadar algoritma dan data. Aku telah berhasil melakukan upgrade romansa, bukan hanya dengan bantuan AI, tapi dengan keberanian untuk menjadi diriku sendiri, dengan ketulusan untuk berbagi mimpi, dan dengan keberanian untuk mencintai. Aku telah menemukan bahwa kadang-kadang, romansa terbaik adalah romansa yang tidak terprogram. Romansa yang lahir dari kejujuran, spontanitas, dan keberanian untuk melangkah keluar dari zona nyaman. Dan itu, bagiku, adalah cinta yang sempurna.