Detak Jantung: Algoritma Memahami, Manusia Merasakan?

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 05:35:05 wib
Dibaca: 167 kali
Debu neon berpendar di balik layar monitor, memantulkan cahaya biru ke wajah Anya. Jari-jarinya menari di atas keyboard, baris kode terbentang bagai labirin digital yang hanya ia seorang yang tahu jalan keluarnya. Proyek akhirnya, "Amor-AI", hampir selesai. Sebuah algoritma cerdas yang mampu menganalisis data biologis—detak jantung, frekuensi napas, suhu tubuh—untuk memprediksi potensi kecocokan romantis antar individu.

Anya, seorang ilmuwan data brilian dengan gelar PhD dari MIT, selalu menganggap cinta sebagai persamaan kompleks yang belum terpecahkan. Ia muak dengan kencan buta yang canggung, aplikasi kencan yang dipenuhi profil palsu, dan janji-janji palsu yang dilontarkan para pria. Amor-AI adalah jawabannya, sebuah solusi logis untuk masalah emosional yang tak masuk akal.

"Sedikit lagi, sayang," gumamnya pada laptopnya. "Sedikit lagi dan kau akan mengubah dunia percintaan."

Anya sendiri belum pernah merasakan apa yang disebut cinta sejati. Ia terlalu sibuk belajar, bekerja, dan menciptakan algoritma. Namun, ia yakin, Amor-AI akan membantunya menemukan seseorang yang tepat. Seseorang yang secara biologis dan algoritmik cocok dengannya.

Hari pengujian tiba. Anya mengundang beberapa rekan kerjanya, termasuk Liam, seorang insinyur perangkat keras yang sering membantunya dengan masalah teknis. Liam selalu membuatnya merasa nyaman, dengan senyumnya yang ramah dan tawanya yang renyah. Namun, Anya selalu menganggapnya hanya sebagai teman.

"Baiklah, semuanya siap?" tanya Anya, suaranya sedikit bergetar. Ia menghubungkan sensor ke masing-masing peserta, mengukur detak jantung, frekuensi napas, dan suhu tubuh mereka. Data kemudian diumpankan ke Amor-AI.

Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Layar monitor dipenuhi baris kode yang bergulir cepat, diikuti oleh grafik dan angka-angka. Akhirnya, Amor-AI memberikan hasilnya.

"Menarik," kata Anya, menatap layar dengan kening berkerut. "Hasilnya cukup mengejutkan."

Ia membacakan nama-nama yang memiliki skor kecocokan tertinggi. Beberapa pasangan memang cocok, tetapi ada satu hasil yang benar-benar membuatnya terkejut.

"Anya Sharma dan Liam O'Connell… skor kecocokan: 98%."

Anya membeku. Ia menatap Liam, yang balas menatapnya dengan ekspresi yang sama terkejutnya. 98%? Itu angka yang luar biasa. Secara algoritmik, mereka adalah pasangan yang sempurna.

"Mungkin ada kesalahan?" gumam Anya, berusaha mencari rasionalisasi. "Mari kita jalankan pengujian ulang."

Namun, hasil pengujian ulang tetap sama. Anya dan Liam memiliki skor kecocokan yang sangat tinggi.

Suasana di ruangan itu berubah menjadi canggung. Para peserta lain mulai berbisik-bisik, menatap Anya dan Liam dengan rasa ingin tahu. Anya merasa pipinya memanas. Ia tidak pernah membayangkan akan berada dalam situasi seperti ini.

Setelah semua orang pergi, hanya Anya dan Liam yang tersisa di laboratorium. Keheningan menggantung di antara mereka, terasa berat dan tidak nyaman.

"Jadi…" kata Liam, memecah keheningan. "98%?"

Anya mengangguk, tidak berani menatap matanya. "Ya. Aku tidak tahu harus berkata apa."

"Aku juga tidak," jawab Liam. "Aku… aku tidak pernah menganggapmu lebih dari seorang teman, Anya. Tapi… mungkin algoritma ini tahu sesuatu yang kita tidak tahu."

Anya mendongak, menatap Liam dengan rasa ingin tahu. "Maksudmu?"

"Mungkin…" Liam menggaruk-garuk kepalanya, tampak gugup. "Mungkin kita harus mencobanya. Mungkin kita harus melihat apakah algoritma ini benar."

Anya terdiam. Mencobanya? Berkencan dengan Liam? Ide itu terasa aneh dan menakutkan. Namun, ada sesuatu dalam nada suara Liam yang membuatnya tertarik. Ada sesuatu dalam matanya yang membuat hatinya berdebar lebih cepat.

"Aku… aku tidak tahu, Liam," kata Anya, suaranya bergetar. "Ini semua terasa sangat tiba-tiba."

"Aku tahu," jawab Liam. "Tidak ada tekanan. Tapi… pikirkanlah. Mungkin ini adalah kesempatan untuk menemukan sesuatu yang istimewa. Sesuatu yang tidak akan kita temukan jika kita hanya mengandalkan intuisi kita."

Anya berpikir keras. Ia selalu mengandalkan logika dan data. Ia selalu percaya bahwa cinta bisa dipahami dan dianalisis. Tapi… mungkin ada sesuatu yang lebih dari sekadar angka dan algoritma. Mungkin ada sesuatu yang hanya bisa dirasakan, sesuatu yang tidak bisa diukur.

"Oke," kata Anya, akhirnya. "Aku akan mencobanya."

Liam tersenyum, senyum yang membuat jantung Anya berdebar lebih cepat. "Sungguh? Bagus sekali. Bagaimana kalau kita makan malam besok malam?"

Anya mengangguk. "Kedengarannya bagus."

Malam itu, Anya tidak bisa tidur. Pikirannya dipenuhi dengan gambar Liam, dengan skor kecocokan 98%, dengan kemungkinan cinta yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia menyadari bahwa ia selama ini terlalu fokus pada algoritma, pada data, pada logika. Ia lupa bahwa cinta adalah sesuatu yang lebih dari sekadar persamaan. Cinta adalah tentang koneksi, tentang emosi, tentang perasaan.

Keesokan harinya, Anya dan Liam makan malam di sebuah restoran Italia yang nyaman. Mereka tertawa, berbicara tentang pekerjaan, tentang hobi, tentang mimpi mereka. Anya menyadari bahwa ia menikmati waktunya bersama Liam lebih dari yang pernah ia bayangkan.

Saat mereka berpisah di depan apartemen Anya, Liam menatapnya dalam-dalam. "Aku bersenang-senang malam ini, Anya," katanya. "Sangat menyenangkan."

"Aku juga," jawab Anya, merasakan pipinya memanas.

Liam mendekat, mengangkat tangannya dan menyentuh pipi Anya. "Bolehkah aku…"

Anya mengangguk, tidak bisa berkata apa-apa. Liam membungkuk dan menciumnya.

Ciuman itu lembut, hangat, dan penuh dengan perasaan. Anya merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Detak jantungnya berpacu, frekuensi napasnya meningkat, suhu tubuhnya naik. Data biologisnya pasti melonjak drastis.

Tetapi, untuk pertama kalinya, Anya tidak peduli dengan data. Ia hanya peduli dengan perasaan. Ia hanya peduli dengan ciuman Liam. Ia hanya peduli dengan cinta yang mungkin saja baru saja ia temukan.

Mungkin algoritma memang bisa memahami. Tapi, manusia yang merasakan. Dan Anya, akhirnya, mulai merasakan. Ia mulai merasakan detak jantungnya berirama dengan detak jantung Liam. Ia mulai merasakan keajaiban cinta, keajaiban yang tidak bisa dijelaskan oleh logika atau algoritma apa pun. Ia mulai merasakan... bahwa mungkin, hanya mungkin, algoritma itu benar. Bahwa mungkin, ia dan Liam ditakdirkan untuk bersama.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI