Aplikasi kencan "SoulMate AI" menjanjikan satu hal: algoritma cinta yang presisi. Iklannya menampilkan pasangan-pasangan bahagia yang bertemu melalui aplikasi, mengklaim bahwa kecerdasan buatan telah mengupas lapisan kebetulan dan ketidakcocokan, menyisakan inti kesamaan yang mendalam. Bagi Anya, seorang programmer yang skeptis namun juga sedikit putus asa, klaim itu terdengar terlalu bagus untuk menjadi kenyataan.
Anya bekerja di sebuah perusahaan rintisan yang mengembangkan perangkat lunak pengenalan wajah. Hidupnya berkutat pada baris kode, debugging, dan rapat-rapat larut malam. Waktu untuk bersosialisasi? Nyaris tidak ada. Teman-temannya terus mendorongnya untuk mencoba aplikasi kencan, dan setelah perpisahan pahit beberapa bulan lalu, akhirnya ia mengalah. SoulMate AI adalah pilihan yang paling populer, dengan reputasi menghasilkan pasangan yang tahan lama.
Anya mengisi profilnya dengan jujur. Ia mencantumkan minatnya pada astronomi, musik klasik, dan kucing. Ia juga menyebutkan kebiasaannya minum kopi terlalu banyak dan kecenderungannya untuk menganalisis segala sesuatu secara berlebihan. Kemudian, ia menunggu.
Algoritma bekerja. Setiap hari, Anya menerima beberapa profil yang dianggap cocok oleh SoulMate AI. Kebanyakan dari mereka terasa generik, seperti salinan karbon dari satu sama lain. Para pria yang menyukai olahraga ekstrem, minum bir kerajinan, dan berfoto di puncak gunung. Bukan Anya sama sekali. Ia mulai kehilangan harapan.
Hingga suatu malam, muncul sebuah profil bernama "Leo_Theorist." Fotonyanya menampilkan seorang pria dengan mata cokelat hangat dan senyum yang sedikit malu-malu. Deskripsinya singkat namun menarik: "Seorang fisikawan teoretis yang mencoba memahami alam semesta dan mengapa kucing suka kotak kardus." Anya tertawa kecil. Ada sesuatu tentangnya yang terasa berbeda.
Mereka mulai mengobrol. Leo, ternyata, adalah seorang peneliti di universitas. Ia mempelajari lubang hitam dan teori segala sesuatu. Anya, dengan pengetahuannya tentang pengenalan wajah dan jaringan saraf, menemukan bahwa mereka memiliki banyak kesamaan dalam cara mereka berpikir. Mereka membahas kode, fisika kuantum, dan paradoks Fermi. Mereka berdebat tentang apakah kucing memahami konsep ruang dan waktu.
Percakapan mereka mengalir dengan mudah. Anya mendapati dirinya menantikan notifikasi dari SoulMate AI. Ia lupa tentang algoritma, tentang kecerdasan buatan, tentang janji-janji aplikasi kencan. Ia hanya fokus pada Leo, pada kata-katanya, pada cara ia membuatnya berpikir dan tertawa.
Setelah beberapa minggu mengobrol, Leo mengajaknya bertemu. Anya setuju, meskipun jantungnya berdebar kencang. Ia gugup, takut bahwa pertemuan tatap muka akan menghancurkan semua yang telah mereka bangun secara online.
Mereka bertemu di sebuah kafe kecil dekat universitas. Ketika Leo tersenyum padanya, gugupnya Anya menghilang. Ia persis seperti yang ia bayangkan: cerdas, lucu, dan sedikit kikuk dengan cara yang menawan.
Mereka menghabiskan sore itu berbicara. Mereka membahas impian mereka, ketakutan mereka, dan harapan mereka. Anya menceritakan tentang pekerjaannya, tentang tantangan mengembangkan perangkat lunak pengenalan wajah yang etis. Leo menceritakan tentang penelitiannya, tentang usahanya untuk memahami misteri alam semesta.
Saat mereka berjalan pulang, Leo berhenti di depan pintu apartemen Anya. Ia ragu-ragu sejenak, lalu berkata, "Anya, aku sangat senang bertemu denganmu. Aku merasa seperti aku sudah mengenalmu selamanya."
Anya tersenyum. "Aku juga, Leo."
Kemudian, ia melakukan sesuatu yang tidak terduga. Ia menciumnya.
Ciuman itu lembut dan hangat, penuh harapan dan kemungkinan. Anya membalas ciumannya, melupakan semua keraguan dan ketakutan yang pernah ia rasakan.
Setelah beberapa saat, mereka berpisah. Leo tersenyum padanya. "Aku akan menghubungimu besok," katanya.
Anya mengangguk. "Selamat malam, Leo."
Ia berdiri di depan pintunya, menyentuh bibirnya dengan jari-jarinya. Ia merasa bahagia, lebih bahagia daripada yang pernah ia rasakan dalam waktu yang lama.
Beberapa bulan kemudian, Anya dan Leo masih berkencan. Mereka masih berbicara tentang kode, fisika, dan kucing. Mereka masih berdebat tentang hal-hal kecil. Mereka juga belajar memasak bersama, menjelajahi museum, dan menonton film-film aneh.
Suatu malam, saat mereka sedang berbaring di sofa, Anya bertanya kepada Leo, "Apa menurutmu SoulMate AI benar-benar berperan dalam pertemuan kita?"
Leo berpikir sejenak. "Mungkin," katanya. "Mungkin algoritma itu menemukan sesuatu tentang kita yang kita sendiri tidak tahu. Tapi aku pikir yang lebih penting adalah apa yang terjadi setelah kita bertemu. Algoritma itu mungkin telah mempertemukan kita, tapi kitalah yang memilih untuk terhubung, untuk membuka diri, untuk jatuh cinta."
Anya mengangguk. Ia menyadari bahwa Leo benar. Algoritma bisa menjadi alat yang berguna, tetapi itu bukanlah penentu takdir. Cinta tidak bisa dipaksakan atau diprediksi. Itu tumbuh dari koneksi yang otentik, dari kesediaan untuk menjadi rentan, dari keberanian untuk mengambil risiko.
Ia memeluk Leo erat-erat. "Aku mencintaimu," bisiknya.
Leo membalas pelukannya. "Aku juga mencintaimu, Anya."
Di balik algoritma, di balik kode dan data, di balik semua kompleksitas dunia modern, cinta masih bisa ditemukan. Terkadang, itu membutuhkan sedikit bantuan dari kecerdasan buatan. Terkadang, itu membutuhkan sedikit keberanian untuk percaya. Dan terkadang, itu hanya membutuhkan dua orang yang bersedia membuka hati mereka satu sama lain. Mungkin cinta itu memang tak sengaja terjadi, namun bagaimana kamu merawat ketaksengajaan itu, itulah yang membuat segalanya bermakna.