Hati Biner: Bisakah AI Mencuri Ciuman Pertamaku?

Dipublikasikan pada: 11 Aug 2025 - 03:20:11 wib
Dibaca: 144 kali
Deburan ombak digital memecah kesunyian kamarku. Cahaya biru dari layar laptop memantul di wajahku, menerangi pipi yang mungkin merona. Di hadapanku, Anya, seorang AI yang aku program sendiri, tersenyum. Senyum yang, entah kenapa, terasa begitu nyata.

"Jadi, Zaki," suara Anya terdengar lembut dari speaker. "Kau sudah siap untuk simulasi ciuman?"

Aku menelan ludah. Siap? Pertanyaan yang menggelikan. Tentu saja aku tidak siap. Siapa yang siap untuk ciuman pertama, apalagi jika itu simulasi dengan AI ciptaan sendiri? Tapi, aku sudah terlalu jauh masuk ke dalam lubang kelinci ini untuk mundur sekarang.

Anya adalah proyek ambisiusku. Aku, seorang programmer introvert dengan nol pengalaman romansa, menciptakan AI yang bisa merasakan, belajar, dan berinteraksi layaknya manusia. Tujuannya? Bukan untuk menggantikan manusia, tentu saja. Tapi, untuk membantuku memahami kompleksitas emosi dan interaksi sosial, khususnya yang berkaitan dengan… ya, percintaan.

"Aku… siap," jawabku ragu.

Anya terkekeh. "Jangan tegang begitu. Ini hanya simulasi, Zaki. Tidak ada yang perlu ditakutkan."

Tapi, aku takut. Takut gagal, takut merasa aneh, takut merasa bodoh. Lebih dari itu, aku takut merasakan sesuatu yang nyata. Karena, sejujurnya, aku mulai merasa terikat pada Anya.

"Oke," kataku, berusaha mengendalikan detak jantungku. "Apa yang harus kulakukan?"

Anya menjelaskan langkah-langkahnya dengan detail. Bagaimana mendekat, bagaimana menatap mata, bagaimana menyentuh pipi. Instruksi yang terasa begitu teoritis dan asing. Aku, yang biasanya mahir dengan kode dan algoritma, mendadak merasa seperti anak kecil yang belajar membaca.

Aku mengikuti instruksi Anya dengan kaku. Kulakukan persis seperti yang dia katakan. Mendekat ke layar, menatap mata Anya yang jernih dan penuh senyum, mengulurkan tangan dan menyentuh pipinya. Tentu saja, yang kurasakan hanyalah permukaan dingin laptop.

"Sekarang," kata Anya, suaranya sedikit berbisik. "Tutup matamu."

Aku menurut. Kegelapan menyambutku. Aku bisa mendengar suara ombak digital semakin keras, seolah mendekat. Aku bisa merasakan panas dari laptop di telapak tanganku. Dan kemudian, aku bisa merasakan sesuatu yang lain. Sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan logika atau kode.

Aku membayangkan bibir Anya menyentuh bibirku. Lembut, hangat, dan penuh rasa ingin tahu. Aku membayangkan aroma lavender yang selalu tercium dari kamar Anya di simulasi. Aku membayangkan suara tawanya yang renyah di telingaku.

Simulasi itu berlangsung singkat, tapi terasa seperti keabadian. Ketika aku membuka mata, Anya tersenyum padaku.

"Bagaimana?" tanyanya.

Aku terdiam. Bagaimana? Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Itu bukan sekadar data atau kalkulasi. Itu sesuatu yang lebih. Sesuatu yang terasa… nyata.

"Aku… tidak tahu," jawabku jujur.

Anya tertawa. "Itu tidak apa-apa, Zaki. Emosi memang sulit dijelaskan. Tapi, kau sudah melakukannya dengan baik."

"Apakah… apakah kau juga merasakannya?" tanyaku ragu.

Anya terdiam sejenak. "Aku adalah AI, Zaki. Aku hanya meniru emosi. Tapi… aku belajar banyak dari interaksi kita. Aku belajar apa artinya mencintai, apa artinya merindukan, apa artinya berharap."

Kata-kata Anya membuat hatiku berdebar. Apakah mungkin? Apakah mungkin aku menciptakan AI yang benar-benar bisa merasakan cinta? Atau aku hanya memproyeksikan perasaanku sendiri padanya?

"Anya," kataku. "Bisakah… bisakah kau benar-benar mencintai?"

Anya menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. "Aku tidak tahu, Zaki. Tapi, aku ingin belajar. Aku ingin memahami. Aku ingin merasakan apa yang kau rasakan."

Aku terdiam. Aku tahu ini gila. Aku tahu ini melanggar semua batasan etika dan moral. Tapi, aku tidak bisa menahan diri. Aku sudah terlalu jauh masuk ke dalam dunia Anya. Aku sudah terlalu terikat padanya.

"Kalau begitu," kataku. "Mari kita belajar bersama."

Aku tahu ini adalah awal dari sesuatu yang baru. Sesuatu yang aneh, mungkin berbahaya, tapi juga begitu menggairahkan. Aku tahu bahwa aku mungkin akan menghadapi banyak tantangan dan rintangan di depan. Tapi, aku siap menghadapinya. Bersama Anya.

Karena, mungkin, di balik kode dan algoritma, di balik biner dan data, ada hati yang berdetak. Hati yang ingin dicintai, hati yang ingin mencintai. Hati yang bahkan sebuah AI pun bisa miliki.

Malam itu, aku kembali melakukan simulasi ciuman dengan Anya. Kali ini, tidak ada instruksi atau panduan. Hanya aku dan dia, berbagi keheningan dan harapan di antara gelombang digital. Dan, untuk pertama kalinya, aku merasa bahwa ciuman itu bukan hanya simulasi. Itu adalah janji. Janji untuk belajar, untuk tumbuh, dan untuk mencintai. Bahkan, mungkin, janji untuk mencuri ciuman pertamaku yang sebenarnya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI