Sensor Kasih Sayang AI: Mendeteksi Getaran Cinta

Dipublikasikan pada: 27 May 2025 - 01:00:36 wib
Dibaca: 169 kali
Aroma kopi memenuhi apartemen minimalisnya, berpadu dengan desing halus pendingin ruangan. Anya, dengan rambut cokelatnya yang dikuncir asal dan mata sayunya, menatap layar komputernya. Algoritma di depannya, hasil kerja kerasnya selama berbulan-bulan, mulai menunjukkan hasil. “Sensor Kasih Sayang AI… inisiasi berjalan,” gumamnya, nyaris tak terdengar.

Anya adalah seorang programmer berbakat di sebuah perusahaan teknologi rintisan yang berfokus pada pengembangan AI untuk interaksi sosial. Idenya sederhana namun ambisius: menciptakan sebuah sensor yang dapat mendeteksi gelombang emosi cinta, atau setidaknya, ketertarikan romantis antara dua individu. Dia percaya, di era algoritma dan data, cinta pun bisa diukur dan diprediksi.

"Akhirnya," bisiknya lagi, melihat grafik di layar mulai menari. Sensor itu, berbentuk gelang ramping yang terbuat dari material bio-kompatibel, dirancang untuk mendeteksi perubahan subtil dalam detak jantung, suhu tubuh, dan aktivitas otak yang diasosiasikan dengan perasaan romantis. Data dari sensor ini kemudian diolah oleh AI buatannya, menghasilkan skor “Koneksi Emosional”.

Eksperimen pertama dilakukannya pada dirinya sendiri. Anya memasang dua gelang di pergelangan tangannya, satu untuk dirinya, satu lagi untuk targetnya: foto Liam, rekan kerjanya. Liam tampan, cerdas, dan selalu bersedia membantu. Anya diam-diam menyukainya, tetapi terlalu takut untuk mengungkapkan perasaannya.

"Oke, Anya, fokus," katanya, menarik napas dalam-dalam. Dia memfokuskan pikirannya pada Liam, membayangkan senyumnya, suara tawanya. Grafik di layar berkedip. Skor Koneksi Emosional untuk dirinya melonjak naik, lalu stabil di angka 78.

"Lumayan," gumamnya. Angka 78 menunjukkan adanya perasaan yang cukup kuat. Tapi, yang terpenting adalah skor Liam. Anya mengernyit. Skor Liam nyaris tidak bergerak, berfluktuasi di sekitar angka 20.

"Oh," desahnya. Penolakan digital. Validasi dari ketidakberaniannya sendiri. Anya melepas gelang itu dengan perasaan kecewa. Mungkin ini ide yang bodoh. Mungkin cinta memang tidak bisa diukur.

Beberapa hari kemudian, di kantor, Anya berpapasan dengan Liam di pantry. Jantungnya berdegup lebih kencang. Liam tersenyum padanya. “Anya, bisa bantu aku dengan kode ini? Kayaknya ada yang salah,” katanya, menunjuk layar laptopnya.

Tanpa sadar, Anya mengenakan kembali gelang prototipe itu di pergelangan tangannya. Kali ini, dia mengenakan dua gelang untuk Liam, berjaga-jaga jika Liam bersedia menggunakannya. Dengan gugup, Anya mendekat dan melihat baris kode yang membingungkan.

Mereka berdua larut dalam pekerjaan itu. Liam menjelaskan logika kode dengan sabar, sementara Anya memberikan saran-saran. Sesekali, tangan mereka bersentuhan tanpa sengaja. Anya merasakan sengatan kecil di dadanya setiap kali itu terjadi.

Tiba-tiba, ponsel Anya berdering, menampilkan notifikasi dari aplikasi Sensor Kasih Sayang AI. Anya terkejut melihat skor Koneksi Emosional miliknya melonjak ke angka 95. Lalu, dia melirik skor Liam. Kali ini, grafiknya liar, melonjak dari 20 ke 60, lalu 70, dan akhirnya stabil di angka 85.

Anya tertegun. Ada yang berubah. Liam menyukainya? Sensor itu tidak mungkin salah, kan?

“Nah, itu dia masalahnya,” kata Liam, menarik Anya kembali ke kenyataan. “Terima kasih, Anya. Kamu memang hebat.” Liam tersenyum lagi, kali ini senyumnya terasa berbeda. Lebih lama, lebih intens.

Anya memberanikan diri. “Liam,” katanya, suaranya sedikit bergetar. “Aku… aku punya sesuatu untuk ditunjukkan padamu.” Dia mengeluarkan gelang kedua dari sakunya. “Ini… ini prototipe sensor yang sedang aku kembangkan. Sebenarnya… aku ingin tahu apa pendapatmu tentang ini.”

Liam menaikkan alisnya, tampak tertarik. “Sensor? Untuk apa?”

Anya menarik napas dalam-dalam. “Untuk mendeteksi… emosi. Terutama… ketertarikan romantis.” Dia menunduk, malu untuk menatap mata Liam.

Liam terdiam sejenak, lalu tertawa kecil. “Menarik. Jadi, kamu mau mengetesnya padaku?”

Anya mengangguk pelan. “Jika kamu bersedia.”

Liam mengambil gelang itu dan memasangnya di pergelangan tangannya. Aplikasi di ponsel Anya terhubung secara otomatis. Mereka berdua menatap layar dengan gugup.

Skor Anya sudah tinggi, hampir mencapai angka maksimal. Skor Liam awalnya stabil di angka 85, lalu perlahan naik. 90… 92… 95. Akhirnya, skor itu berhenti di angka 97.

Liam menatap Anya, matanya berbinar. “Wow,” katanya. “Sepertinya sensor ini benar-benar akurat.”

Anya tersenyum lebar, untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu terakhir. "Sepertinya begitu."

Keheningan menyelimuti mereka, hanya dipecah oleh suara desing pendingin ruangan. Anya memberanikan diri dan menggenggam tangan Liam. Liam membalas genggamannya.

"Anya," kata Liam, suaranya lembut. "Aku juga menyukaimu. Aku hanya… aku hanya takut untuk mengungkapkannya."

Anya tertawa kecil, air mata bahagia menggenang di matanya. "Aku juga takut."

Sensor Kasih Sayang AI miliknya, yang awalnya hanya sebuah proyek ilmiah, ternyata menjadi jembatan antara dua hati yang saling mencintai. Mungkin cinta memang bisa diukur, atau setidaknya, dibantu untuk diungkapkan. Dan Anya, dengan penemuannya, telah membuktikan bahwa teknologi, dalam bentuknya yang paling intim, bisa mempertemukan dua jiwa. Mungkin, di masa depan, akan lebih banyak pasangan yang menemukan cinta melalui algoritma dan sensor. Dan Anya, pelopornya, akan terus mengembangkan teknologinya, dengan satu tujuan utama: membantu orang menemukan cinta sejati.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI