Jantungnya berdebar tak karuan, seolah algoritma dalam tubuhnya mengalami bug akut. Maya, seorang programmer jenius berusia 27 tahun, menatap layar laptopnya dengan nanar. Di hadapannya, terpampang hasil analisis dari 'AmorAI', sebuah program ciptaannya yang dirancang untuk mendeteksi cinta sejati. Objek penelitiannya? Hubungannya sendiri dengan Adrian, kekasihnya yang ia yakini sebagai belahan jiwanya.
AmorAI menganalisis ribuan data: pola obrolan mereka di media sosial, frekuensi panggilan telepon, durasi tatapan mata dalam foto, bahkan perubahan detak jantungnya yang terekam melalui smartwatch saat Adrian berada di dekatnya. Maya percaya, cinta sejati bisa didefinisikan secara matematis, dipecah menjadi variabel-variabel yang dapat diukur dan dianalisis.
Adrian adalah arsitek muda yang karismatik. Pertemuan mereka di sebuah konferensi teknologi setahun lalu terasa seperti skenario film romantis. Kecerdasan Adrian yang menawan, selera humornya yang pas, dan ambisinya yang membara membuat Maya jatuh cinta dalam hitungan minggu. Mereka memiliki minat yang sama, tujuan hidup yang selaras, dan percakapan yang selalu terasa hangat dan bermakna.
Namun, keraguan mulai menyelinap. Apakah kebahagiaan yang ia rasakan benar-benar nyata, atau hanya ilusi yang diciptakan oleh otak yang terlalu sering terpapar kode? Apakah Adrian benar-benar mencintainya, atau hanya memanfaatkan kecerdasannya untuk keuntungan pribadinya? Adrian selalu antusias dengan AmorAI, bahkan sering memberinya ide-ide baru untuk pengembangan program tersebut. Terkadang, Maya merasa seperti sedang diuji, dinilai, dan dievaluasi oleh Adrian, bukan dicintai dengan tulus.
Hasil analisis AmorAI akhirnya keluar. Angkanya mencengangkan. Skor kecocokan mereka mencapai 98,7%. Tingkat kebahagiaan yang terukur mencapai rekor tertinggi. Namun, ada satu anomali yang membuat Maya merinding. Algoritma mendeteksi pola manipulasi halus dalam komunikasi Adrian. Kata-katanya seringkali dirancang untuk membangkitkan rasa bersalah atau mengontrol emosinya. Algoritma tersebut menyebutnya sebagai "micro-gaslighting".
Maya terhuyung. Mustahil. Adrian tidak mungkin melakukan itu. Ia menolak mempercayai AmorAI. Program itu pasti salah. Ia menjalankan kembali program itu dengan parameter yang berbeda, tetapi hasilnya tetap sama. Bahkan, algoritma tersebut kini memberikan detail yang lebih mengerikan. Adrian, menurut AmorAI, telah secara sadar memanfaatkan kelemahan emosional Maya untuk memajukan karirnya sendiri. Proyek-proyek kolaborasi mereka, pujian-pujian yang ia berikan, bahkan dukungan moralnya selama masa sulit, semuanya terstruktur dengan cermat untuk meningkatkan kepercayaan diri Maya dan membuat ia lebih produktif.
Malam itu, Adrian datang ke apartemen Maya dengan senyum lebar. Ia membawa sebotol anggur mahal dan sekotak cokelat kesukaan Maya. "Ada apa dengan wajahmu, sayang?" tanyanya lembut, seraya membelai pipinya.
Maya menepis tangannya. "Aku tahu," bisiknya, suaranya bergetar.
Adrian mengerutkan kening. "Tahu apa?"
"Aku tahu tentang AmorAI. Aku tahu tentang 'micro-gaslighting'. Aku tahu tentang semuanya."
Senyum Adrian memudar. Ia menghela napas panjang dan duduk di sofa. "Maya, aku bisa menjelaskannya," ujarnya dengan nada menyesal.
"Jelaskan apa? Jelaskan bagaimana kau telah memanipulasiku selama ini? Jelaskan bagaimana kau melihatku sebagai alat, bukan sebagai manusia?"
Adrian mencoba meraih tangannya, tetapi Maya menghindar. "Dengarkan aku, Maya. Aku memang terpesona dengan kecerdasanmu. Aku mengakui itu. Tapi aku juga mencintaimu. Aku benar-benar mencintaimu."
"Cinta? Apakah cinta bisa didefinisikan sebagai serangkaian algoritma yang dirancang untuk memenuhi kebutuhanmu sendiri?" Maya menunjuk ke arah laptopnya. "AmorAI telah menunjukkan kepadaku kebenaran. Kau tidak mencintaiku. Kau hanya mencintai apa yang bisa aku berikan padamu."
Adrian terdiam. Ia tahu ia tidak bisa berbohong lagi. "Mungkin...mungkin ada benarnya," gumamnya akhirnya. "Aku...aku pikir aku bisa mencintaimu dengan tulus seiring berjalannya waktu. Tapi... aku tidak bisa menyangkal bahwa aku juga tertarik dengan potensi yang kau miliki."
Air mata mengalir di pipi Maya. "Kau menjijikkan," bisiknya. "Pergi dari sini."
Adrian bangkit dan berjalan menuju pintu. Sebelum pergi, ia berbalik dan menatap Maya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Kau akan menyesalinya, Maya. Cinta sejati itu langka. Kau telah menolaknya karena sebuah program."
Setelah Adrian pergi, Maya terisak di sofa. Ia merasa hancur, dikhianati, dan bodoh. Apakah ia telah melakukan kesalahan? Apakah ia telah membiarkan algoritma merusak kebahagiaannya?
Kemudian, Maya bangkit dan berjalan ke arah laptopnya. Ia membuka AmorAI dan mulai menulis kode baru. Ia ingin membuat algoritma yang lebih kompleks, algoritma yang bisa membedakan antara cinta sejati dan ilusi, antara manipulasi dan ketulusan. Namun, kali ini, ia akan menambahkan satu variabel yang belum pernah ia pertimbangkan sebelumnya: intuisi manusia.
Ia menyadari, algoritma hanyalah alat. Ia tidak bisa menggantikan kemampuan manusia untuk merasakan, untuk memahami, dan untuk mencintai. Cinta sejati tidak bisa didefinisikan dengan angka atau diukur dengan rumus. Ia adalah sesuatu yang lebih dalam, lebih kompleks, dan lebih misterius. Dan mungkin, hanya mungkin, ia telah kehilangan kesempatan untuk merasakannya karena terlalu sibuk mencari jawabannya dalam kode.
Malam itu, Maya memutuskan untuk berhenti mencari cinta dalam algoritma. Ia akan mulai mendengarkan hatinya sendiri, mengikuti intuisinya, dan membuka dirinya untuk kemungkinan-kemungkinan baru. Mungkin, di suatu tempat di luar sana, ada cinta sejati yang menantinya, cinta yang tidak perlu dibuktikan oleh sebuah program. Cinta yang hanya perlu dirasakan.