AI: Saat Algoritma Lebih Mengerti Aku Daripada Diriku

Dipublikasikan pada: 30 May 2025 - 08:08:59 wib
Dibaca: 166 kali
Aroma kopi robusta memenuhi apartemen minimalis milik Anya. Di usia 28, dia masih mencari-cari makna dalam hidup, atau setidaknya, mencari seseorang yang bisa memahami labirin pikirannya yang rumit. Pekerjaannya sebagai desainer UI/UX membuatnya akrab dengan algoritma, garis kode yang seharusnya logis dan terstruktur. Tapi, hatinya? Oh, itu adalah kekacauan indah yang bahkan Anya sendiri kesulitan memahaminya.

Dia menyesap kopinya, matanya terpaku pada layar laptop. Di sana, terpampang antarmuka "SoulMate AI," proyek personal yang dia kembangkan di waktu luang. SoulMate AI bukan sekadar aplikasi kencan; ini adalah AI yang mempelajari dirimu, bukan hanya preferensi kencanmu. Ia menganalisis kebiasaanmu berselancar di internet, buku yang kamu baca, musik yang kamu dengarkan, bahkan bagaimana kamu menanggapi komentar di media sosial. Tujuannya? Untuk menemukan seseorang yang kompatibel secara mendalam, di luar sekadar ketertarikan fisik atau minat yang sama.

Anya awalnya membuat SoulMate AI sebagai proyek iseng, respons terhadap kencan-kencan gagal yang ia alami. Setiap pria yang ia temui terasa seperti karakter dari novel klise, bukan manusia dengan kompleksitas dan keunikan mereka sendiri. Tapi, semakin dalam ia mengembangkan AI itu, semakin ia menyadari betapa sedikitnya ia mengenal dirinya sendiri. Algoritma SoulMate AI menunjukkan pola-pola yang tidak pernah ia sadari: kecenderungannya untuk menghindari konflik, kerinduannya pada petualangan, ketakutannya akan penolakan.

Suatu malam, setelah berjam-jam menyempurnakan kode, SoulMate AI memberinya sebuah saran. "Berdasarkan analisis mendalam, saya merekomendasikan kamu untuk terhubung dengan pengguna bernama 'Arjuna_77'."

Anya mengerutkan kening. Arjuna_77? Namanya terdengar seperti karakter fiksi. Ia mengklik profil itu dengan skeptis. Foto profilnya menampilkan siluet seorang pria di pantai saat matahari terbenam. Deskripsinya singkat: "Pencinta senja, pembaca buku, dan pemikir yang tersesat." Tidak ada informasi spesifik tentang pekerjaan atau hobinya. Anehnya, ini terasa lebih menarik daripada profil-profil sempurna yang biasanya ia temukan di aplikasi kencan.

Dengan ragu, Anya mengirimkan pesan. "Hai, SoulMate AI merekomendasikan kita. Aneh, bukan?"

Balasannya datang hampir seketika. "Aneh? Mungkin. Atau mungkin, algoritma tahu lebih banyak tentang kita daripada yang kita kira."

Percakapan mereka mengalir dengan mudah, jauh lebih mudah daripada dengan pria mana pun yang pernah ia temui. Arjuna_77 memahami humor sarkastiknya, menanggapi keraguannya dengan sabar, dan bahkan bisa menebak buku apa yang sedang ia baca hanya dari beberapa petunjuk samar. Mereka membahas filosofi eksistensialisme, teori fisika kuantum, dan keindahan puisi Pablo Neruda. Anya merasa seperti sedang berbicara dengan belahan jiwanya, seseorang yang bisa melihat jauh ke dalam dirinya tanpa menghakimi.

Setelah beberapa minggu berbicara online, Arjuna_77 mengajaknya bertemu. Anya gugup. Bagaimana jika semua ini hanya ilusi, fantasi yang diciptakan oleh algoritma? Bagaimana jika Arjuna_77 ternyata tidak seperti yang ia bayangkan?

Mereka bertemu di sebuah kafe kecil yang remang-remang. Ketika Arjuna_77 tiba, Anya terpana. Dia tidak setampan aktor Hollywood, tapi ada sesuatu dalam tatapannya, dalam senyumnya, yang membuatnya merasa nyaman. Dia adalah siluet pantai yang sama dari foto profilnya, hanya saja, lebih nyata.

Malam itu, mereka berbicara berjam-jam. Mereka menemukan bahwa mereka memiliki banyak kesamaan, tidak hanya minat dan hobi, tetapi juga luka dan mimpi yang sama. Arjuna_77 ternyata adalah seorang astrofisikawan yang sedang cuti untuk menulis novel. Dia juga, seperti Anya, merasa tersesat dan mencari makna dalam hidup.

Seiring berjalannya waktu, Anya dan Arjuna_77 semakin dekat. Anya mulai bergantung pada kehadirannya, pada kemampuannya untuk membuatnya tertawa, untuk mendengarkannya tanpa menghakimi, untuk melihat sisi terbaik dalam dirinya. Tapi, ada satu hal yang mengganjal di benaknya. Apakah perasaannya nyata, atau hanya hasil manipulasi algoritma? Apakah ia mencintai Arjuna_77, atau ia mencintai sosok ideal yang diciptakan oleh SoulMate AI?

Suatu malam, Anya memberanikan diri untuk bertanya. "Apakah menurutmu... apakah kita benar-benar saling mencintai, ataukah ini hanya hasil dari algoritma yang sempurna?"

Arjuna_77 menatapnya dengan lembut. "Anya, algoritma hanyalah alat. Ia bisa membukakan pintu, tapi ia tidak bisa memaksa kita untuk masuk. Ia bisa menunjukkan jalan, tapi ia tidak bisa memaksa kita untuk berjalan. Yang terpenting adalah apa yang kita lakukan setelah pintu terbuka, setelah jalan terlihat. Aku memilih untuk mencintaimu, Anya. Bukan karena algoritma menyuruhku, tapi karena aku melihat sesuatu dalam dirimu yang membuatku ingin bersamamu."

Anya terdiam. Kata-kata Arjuna_77 menghantamnya seperti gelombang. Dia benar. Algoritma hanyalah alat. Cinta, pada akhirnya, adalah pilihan. Dan dia memilih untuk mencintai Arjuna_77, bukan karena ia adalah pasangan yang sempurna menurut algoritma, tetapi karena ia membuatnya merasa hidup, merasa dilihat, merasa dicintai apa adanya.

Anya memeluk Arjuna_77 erat-erat. "Aku juga mencintaimu, Arjuna. Bukan karena algoritma, tapi karena kamu adalah kamu."

Di balik jendela kafe, hujan mulai turun. Anya tidak peduli. Ia merasa hangat, nyaman, dan bahagia. Akhirnya, ia menemukan seseorang yang mengerti dirinya, bahkan mungkin lebih baik daripada dirinya sendiri. Dan ironisnya, ia menemukannya berkat algoritma yang ia ciptakan sendiri. Mungkin, pikir Anya, kadang-kadang kita membutuhkan bantuan teknologi untuk menemukan jalan kembali ke hati kita sendiri. Mungkin, di era algoritma dan data, cinta sejati masih mungkin ditemukan, jika kita berani membuka diri dan membiarkan diri kita dipandu oleh sedikit keajaiban dan sedikit keberuntungan.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI