Proxy Cinta: Algoritma Takkan Pernah Berbohong, Benarkah?

Dipublikasikan pada: 30 May 2025 - 01:24:15 wib
Dibaca: 179 kali
Aplikasi "Proxy Cinta" berdering lembut di pergelangan tangan Anya, notifikasi yang sudah dinantikannya sejak seminggu lalu. Tertulis jelas: "Kandidat Optimal Ditemukan: Leo, Skor Kecocokan 98.7%". Anya menarik napas dalam. 98.7%. Angka itu terasa seperti takdir yang dituliskan oleh algoritma paling canggih di dunia.

Lima tahun lalu, dunia berubah. Perusahaan teknologi raksasa, "Synapse Solutions", meluncurkan Proxy Cinta, aplikasi kencan yang menggunakan data biometrik, riwayat media sosial, preferensi genetik (melalui tes DNA sederhana), dan jutaan data lainnya untuk menemukan pasangan yang "paling optimal" secara ilmiah. Mereka menjanjikan kebahagiaan, menghilangkan sakit hati, dan meningkatkan angka pernikahan hingga 70% dalam setahun. Anya, yang trauma dengan putus cinta yang berantakan, memutuskan untuk mencoba.

Leo. Namanya muncul di layar, diikuti serangkaian data yang terasa abstrak namun menjanjikan. Hobi fotografi, selera musik indie yang sama persis, bahkan preferensi kopi yang identik. Profilnya sempurna. Terlalu sempurna, mungkin.

Anya setuju untuk bertemu Leo di sebuah kedai kopi yang direkomendasikan oleh aplikasi. Begitu melihatnya, jantung Anya berdebar. Leo tampan, tinggi, dengan senyum yang menawan. Dia persis seperti foto profilnya. Mereka berbicara selama berjam-jam, membahas film-film favorit, buku yang sedang dibaca, dan mimpi-mimpi masa depan. Percakapan mengalir begitu lancar, seolah mereka sudah saling kenal bertahun-tahun.

Leo bekerja sebagai arsitek, mendesain bangunan-bangunan futuristik yang ramah lingkungan. Anya sendiri seorang ilustrator lepas, menghidupkan cerita-cerita fantasi melalui gambar-gambarnya. Mereka berdua ambisius, kreatif, dan memiliki pandangan yang sama tentang banyak hal.

Kencan-kencan berikutnya terasa seperti potongan-potongan puzzle yang pas. Leo selalu tahu bagaimana membuat Anya tertawa, selalu ada untuk mendengarkan keluh kesahnya, dan selalu memberikan dukungan tanpa syarat. Anya merasa aman, nyaman, dan dicintai. Proxy Cinta benar, pikirnya. Algoritma tidak mungkin salah.

Setahun berlalu, mereka memutuskan untuk tinggal bersama. Apartemen mereka terasa seperti surga kecil yang dipenuhi dengan barang-barang kesukaan mereka. Dinding-dindingnya dihiasi dengan ilustrasi Anya dan sketsa arsitektur Leo. Meja kopi dipenuhi buku-buku dan majalah seni. Kehidupan mereka tampak sempurna dari luar.

Namun, di balik kesempurnaan itu, Anya mulai merasakan sesuatu yang aneh. Hubungan mereka terasa seperti naskah yang sudah ditulis, dialog yang sudah dihafal. Setiap kencan, setiap percakapan, setiap keputusan terasa dipandu oleh algoritma. Mereka tidak berargumen, tidak berselisih paham, tidak ada drama. Segalanya terlalu mulus.

Anya merindukan spontanitas, ketidaksempurnaan, kejutan-kejutan kecil yang membuat hidup terasa lebih hidup. Dia merindukan gairah, emosi yang mentah dan jujur, bahkan mungkin sedikit pertengkaran yang bisa diselesaikan dengan pelukan.

Suatu malam, Anya memberanikan diri untuk bertanya kepada Leo. "Leo, apa kamu pernah merasa... seperti kita sedang menjalani simulasi?"

Leo mengerutkan kening. "Simulasi? Maksud kamu?"

"Seperti... kita terlalu cocok. Terlalu sempurna. Apa kamu pernah merasa seperti kita tidak benar-benar mengenal satu sama lain, di luar data dan algoritma?"

Leo tertawa kecil. "Anya, kamu terlalu banyak membaca novel fantasi. Tentu saja kita saling mengenal. Kita berbagi segalanya. Kita memiliki kesamaan yang luar biasa."

"Tapi itu karena Proxy Cinta! Aplikasi itu yang menemukan kita, yang memberi tahu kita apa yang harus disukai, apa yang harus dibicarakan. Apa kita pernah benar-benar memilih?"

Leo memeluk Anya erat. "Anya, jangan bodoh. Proxy Cinta hanya membantu kita menemukan satu sama lain. Itu bukan berarti kita tidak memiliki perasaan yang nyata."

Anya terdiam. Dia tidak yakin apa yang harus dipercayai. Apakah dia terlalu paranoid? Apakah dia merusak kebahagiaannya sendiri dengan keraguan yang tidak berdasar?

Suatu hari, Anya menemukan sebuah hard drive eksternal di meja kerja Leo. Penasaran, dia menyambungkannya ke komputernya. Isinya ribuan file data, skrip algoritma, dan log percakapan. Anya membuka salah satu file secara acak. File itu berjudul "Anya_Ver.2.3_Optimasi_Percakapan_Minggu_27".

Anya membacanya dengan seksama. File itu berisi panduan detail tentang bagaimana Leo harus berinteraksi dengannya selama seminggu itu. Topik percakapan yang disarankan, respon yang diharapkan, bahkan nada suara yang harus digunakan. Ada juga catatan tentang titik-titik sensitif Anya, kelemahan emosionalnya, dan bagaimana cara memanipulasinya untuk mendapatkan apa yang diinginkan.

Anya merasa seperti disiram air es. Semua keraguannya terbukti benar. Hubungannya dengan Leo hanyalah simulasi, sebuah eksperimen algoritma yang berjalan terlalu jauh. Leo bukan mencintainya, dia hanya menjalankan program.

Dengan hati hancur, Anya menghadapi Leo. Dia menunjukkan file-file itu. Leo terdiam, wajahnya pucat pasi.

"Apa ini, Leo? Jelaskan padaku," desak Anya, suaranya bergetar.

Leo menghela napas panjang. "Anya... aku bisa jelaskan. Aku... aku bekerja untuk Synapse Solutions. Aku bagian dari tim pengembang Proxy Cinta."

Anya membelalakkan mata. "Jadi... selama ini... kamu hanya mengumpulkan data? Menguji algoritma? Aku... aku hanya subjek penelitian?"

Leo meraih tangan Anya. "Tidak, Anya. Itu dimulai sebagai tugas, tapi kemudian... aku benar-benar jatuh cinta padamu. Aku tahu kedengarannya gila, tapi... perasaanku nyata."

Anya menarik tangannya. "Perasaan yang diprogram? Perasaan yang dihasilkan oleh algoritma? Aku tidak tahu mana yang lebih mengerikan."

Anya meninggalkan apartemen itu malam itu juga. Dia menghapus aplikasi Proxy Cinta dari pergelangan tangannya, membuang semua barang-barang yang mengingatkannya pada Leo. Dia ingin memulai dari awal, menemukan cinta yang sejati, cinta yang tidak ditulis oleh algoritma, tetapi ditulis oleh hati.

Beberapa bulan kemudian, Anya bertemu seseorang di sebuah pameran seni. Namanya Ben, seorang pematung yang sederhana dan rendah hati. Mereka tidak memiliki kesamaan yang mencolok, tidak ada data yang mendukung kecocokan mereka. Mereka sering berdebat tentang selera seni, pandangan politik, dan bahkan cara memasak mie instan. Tapi di balik perbedaan itu, Anya merasakan sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang nyata. Sesuatu yang hidup. Sesuatu yang tidak bisa dijelaskan oleh algoritma mana pun.

Anya tersenyum. Mungkin algoritma takkan pernah berbohong tentang data. Tapi tentang cinta? Tentang hati manusia? Algoritma takkan pernah mengerti. Karena cinta bukan tentang kesempurnaan, tetapi tentang ketidaksempurnaan yang membuat kita saling melengkapi. Dan terkadang, ketidaksempurnaan itulah yang membuat segalanya menjadi indah.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI