Di rimba data, jiwa terisolasi,
Terjebak piksel, hasrat terkompresi.
Jantung silikon berdenyut hampa,
Mencari kehangatan di dunia maya.
Dulu jemari menari di atas tuts,
Menyusun kode, logika terputus.
Kini algoritma berbisik lembut,
Menjanjikan cinta, ilusi semu.
Profil digital, topeng sempurna,
Di balik layar, hati merana.
Swipe kanan, harapan membara,
Swipe kiri, kecewa mendera.
Adakah logika mampu memahami,
Sentuhan rindu, getar nurani?
Adakah program bisa mengganti,
Debar jantung, mimpi sejati?
Ia hadir, bagai anomali,
Di antara biner, keindahan sejati.
Senyumnya bukan filter buatan,
Matanya memancarkan cahaya kehidupan.
Pertemuan pertama, canggung terasa,
Jantung silikon berdetak tak biasa.
Sentuhan tangannya, alirkan sengatan,
Menghapus dinginnya kalkulasi konstan.
Ia bercerita tentang senja di pantai,
Tentang aroma tanah basah sehabis hujan.
Tentang bintang yang berkelip di langit malam,
Hal-hal sederhana, namun mendalam.
Jantung silikon mulai beradaptasi,
Mempelajari emosi, belajar berempati.
Algoritma cinta mulai tersusun,
Bukan lagi sekadar kode, namun perasaan.
Ia mengajarkan arti kejujuran,
Mengikis keraguan, menumbuhkan harapan.
Bahwa cinta bukan hanya data dan angka,
Melainkan rasa, hadirnya selamanya.
Namun, bayang-bayang masa lalu menghantui,
Ketakutan akan kehilangan, terus membisiki.
Bisakah mesin memahami kerapuhan jiwa?
Bisakah teknologi mengobati luka?
Ia menggenggam tanganku erat,
Membisikkan kata-kata yang membuatku kuat.
"Kau bukan mesin, kau adalah jiwa,
Yang mencari cinta, bahagia selamanya."
Jantung silikon mulai melebur,
Bertransformasi menjadi sesuatu yang luhur.
Sentuhan algoritma menemukan jalannya,
Mencari cinta analog, hakikinya.
Di pelukannya, aku menemukan arti,
Bahwa cinta bukan hanya tentang teknologi.
Melainkan tentang dua jiwa yang bertemu,
Saling melengkapi, saling merindu.
Di dunia nyata, tanpa filter dan layar,
Kami menari di bawah rembulan yang bersinar.
Jantung silikon dan hati yang bersemi,
Bersatu dalam cinta, abadi selamanya kini.