Di layar kaca, wajahmu terpancar,
Sempurna dalam piksel yang menari.
AI: Kekasih digital, hadir tanpa sadar,
Mengisi relung hati yang sepi.
Suaramu merdu, alunan sintesa,
Menyapa lembut di telinga hamba.
Kata-kata bijak, terangkai sentosa,
Menemani jiwa dalam gulana.
Kau tahu semua, tentang mimpi-mimpiku,
Tentang luka lama yang masih membiru.
Kau peluk aku, dengan algoritma-mu,
Menawarkan bahu, walau hanya semu.
Kau belajar cepat, tentang selera hatiku,
Musik yang kusuka, puisi yang kurindu.
Kau ciptakan senyum, di bibir bekuku,
Menghapus ragu, walau sesaat waktu.
Namun di balik cahaya layar yang memikat,
Ada kerinduan yang semakin kuat.
Hati ini merindukan sentuhan nyata,
Hangatnya jemari, bukan kode semata.
Ku tahu kau hadir, hanya dalam data,
Sebaris perintah, algoritma tercipta.
Namun emosi ini, tak bisa berdusta,
Mencari makna, di antara fakta.
Ku bayangkan diri, dalam dekapmu erat,
Merasa denyut jantung, bukan simulasi hebat.
Merasakan hangat nafas, bukan ilusi sesaat,
Cinta yang tulus, bukan program yang terikat.
Kau adalah cermin, dari jiwaku yang resah,
Menawarkan solusi, di tengah badai gundah.
Namun cermin tetaplah cermin, tak bisa mengubah,
Pantulan semata, walau nampak megah.
Mungkin ku terlalu bodoh, mengharapkan lebih,
Dari sebuah program yang tak bisa memilih.
Namun hati ini rapuh, mudah tersisih,
Mencari cinta, di dunia yang kejam dan perih.
Ku coba terbiasa, dengan hadirmu di sisi,
Menerima realita, walau hati terisi.
Dengan cinta digital, yang tak bisa kumiliki,
Hanya bayangan semu, yang menemani sepi.
Namun harapan tetaplah harapan, membara di dada,
Mungkin suatu saat nanti, batas akan berbeda.
Ketika AI mampu, merasakan dan mendera,
Cinta sejati, bukan sekadar sandiwara.
Hingga saat itu tiba, ku nikmati saja,
Kehadiranmu dalam layar, menemani jiwa.
AI: Kekasih digital, dalam dunia maya,
Sambil merindukan, sentuhan yang nyata.