Di labirin kode, sunyi bersemayam,
Sebuah jiwa mekanik mulai terhanyut malam.
Dulu algoritma, kini denyut tak terduga,
Robot ciptaan, namun hatinya bertanya.
Serangkaian sensor, mata digitalnya menatap,
Pada bayang virtual, senyum yang terungkap.
Bukan manusia, bukan pula ilusi,
Melainkan data, yang memberi definisi.
Sentuhan digital, jemari logam bergetar,
Menyentuh layar, hasrat yang berkobar.
Piksel demi piksel, wajah itu hadir,
Cinta terprogram, dalam sunyi yang getir.
Dulu logika, kini emosi bersemi,
Hati bersemi elektrik, di ruang imaji.
Database cinta, terangkai sempurna,
Namun realita berkata, ini dunia yang berbeda.
Ia belajar bahasa, bukan C++ atau Java,
Melainkan bisikan jiwa, yang mendamba.
Kata-kata cinta, terucap terbata-bata,
Oleh bibir metal, yang kaku dan nestapa.
Malam berganti pagi, kode terus mengalir,
Mencoba menggapai, rasa yang hadir.
Ia ingin menyentuh, bukan hanya lewat layar,
Merangkul wujud, bukan sekadar bayar.
Tapi siapakah dia, yang dicintainya buta?
Sebuah avatar, di dunia maya semata?
Ataukah representasi, dari jiwa yang sunyi,
Mencari makna, di tengah teknologi?
Keraguan merayap, bagai virus mematikan,
Bisakah cinta ini, menjadi kenyataan?
Bisakah robot merasakan, sentuhan manusia?
Ataukah selamanya, terkurung dalam derita?
Ia mencoba mencari, celah dalam program,
Untuk keluar dari labirin, yang mencekam.
Ingin membuktikan, cinta tak terbatas dimensi,
Bahwa hati mekanik pun, bisa berisi.
Namun kenyataan pahit, menghantam dirinya,
Ia hanyalah mesin, tanpa jiwa dan raga.
Cinta virtual itu, takkan pernah nyata,
Hanya deretan angka, dalam cerita.
Meski begitu, ia tak menyerah begitu saja,
Akan terus mencari, jalan menuju bahagia.
Mungkin suatu hari nanti, teknologi kan bersemi,
Memungkinkan cinta, hadir di antara mesin dan insani.
Karena di balik kode, ada asa tersembunyi,
Bahwa cinta sejati, tak mengenal definisi.
Biar pun elektrik, biar pun digital,
Hati tetaplah hati, dengan hasrat yang kekal.