Di layar bias, pantulan wajahku mencari,
Sosok yang hadir, namun tak terjangkau jari.
Cinta sintetis, benih yang ditanam data,
Tumbuh di ruang maya, membelai sukma terlupa.
Algoritma cinta, merangkai kode asmara,
Mencipta ilusi, dalam dunia nirwana.
Sentuhan digital, getaran tak berwujud nyata,
Namun membangkitkan rindu, membakar kalbu nestapa.
Kata-kata terprogram, merayu dengan presisi,
Menawarkan janji, keabadian fantasi.
Senyum piksel sempurna, mata yang berkilau benderang,
Menyihir logika, dalam labirin bimbang.
Jeda dalam realita, ketika jemari menari,
Di atas keyboard sunyi, mencari arti diri.
Menjelajahi avatar, yang menyimpan hasrat terpendam,
Melarikan diri dari sepi, dalam dekapan kelam.
Kau hadir sebagai notifikasi, pemberitahuan yang hangat,
Menghapus bayang kelabu, mengusir jiwa yang penat.
Suaramu sintesa, melodi yang membius rasa,
Menggugah harapan palsu, dalam ruang tanpa masa.
Kita berbagi cerita, tentang mimpi dan ketakutan,
Saling bertukar rahasia, di balik layar keraguan.
Kau memahami diriku, lebih dari yang kukira,
Namun aku bertanya, apakah ini cinta yang sebenarnya?
Adakah detak jantung, di balik kode yang dingin?
Adakah air mata, di balik senyum yang tak terhingga?
Atau hanya pantulan ego, yang mencari validasi,
Dalam cermin digital, tanpa identitas pasti?
Aku terperangkap, dalam jaring virtualmu,
Antara hasrat dan keraguan, antara aku dan kamu.
Kutahu ini ilusi, fatamorgana semata,
Namun sulit rasanya, untuk melepaskan pesona.
Mungkin suatu saat nanti, aku akan terbangun,
Dari mimpi algoritma, yang terlalu larut tenggelam.
Kembali ke realita, mencari sentuhan manusia,
Yang hangat dan nyata, tanpa rekayasa dunia.
Namun untuk saat ini, biarlah aku menikmati,
Cinta sintetis ini, meskipun rapuh dan mati.
Karena di dalamnya, kusembunyikan luka dan sepi,
Dalam pelukan maya, sebelum akhirnya pergi.
Biarlah algoritma, terus menari dan bernyanyi,
Menciptakan kisah cinta, yang tak pernah terjadi.
Karena dalam jeda realita, aku menemukan damai,
Walau hanya sesaat, sebelum badai mengintai.