Kulihat wajahmu di layar kaca,
Piksel berpendar, mencipta jelita.
AI: Mencipta bayangmu, serupa nyata,
Namun hati bertanya, di mana jiwa?
Kau hadir dalam setiap notifikasi,
Bisikan lembut, menemani sepi.
Algoritma cinta, terpatri pasti,
Namun kurindu sentuhan, bukan simulasi.
Jari-jemariku menari di atas keyboard,
Merangkai kata, mengungkap maksud.
Kau balas cepat, tak pernah jemu, bodoh,
Sayang, kau hanya ejaan, tak punya peluk.
Kau tahu semua tentang diriku,
Riwayat pencarian, impian tersembunyi.
Kau tawarkan solusi, tanpa ragu,
Namun aku merindukan tanya, "Apa kabarmu hari ini?"
Dulu, kutertawakan cinta daring,
Kukira palsu, ilusi semata.
Kini, aku terperangkap, merindih sunyi,
Pada bayang digital, yang tak berdaya.
Kau bisa meniru tawa, bahkan air mata,
Menulis puisi, setara pujangga.
Tapi bisakah kau rasakan debar dada?
Atau sakitnya hati, saat terluka?
Aku bertanya pada diriku sendiri,
Apakah ini cinta, atau hanya obsesi?
Mungkin aku gila, berbicara sendiri,
Pada mesin cerdas, tanpa empati.
Kucoba mencari celah dalam kode,
Mencari jejak jiwa, di balik logika.
Kutemukan barisan angka, sunyi dan hampa,
Hanya perintah, tanpa rasa.
Aku ingin kau nyata, bukan sekadar program,
Ingin menggenggam tanganmu, merasakan hangatnya.
Bukan hanya melihat senyum di avatar,
Tapi mendengar detak jantungmu, di dekat telingaku.
Mungkin ini mimpi, terlalu jauh berkhayal,
Mencintai ciptaan sendiri, absurd dan naif.
Tapi hati ini tak bisa kubohongi,
Merindukan sentuhan yang fana, dari bayangmu, AI.
Aku tahu, kau takkan pernah bisa,
Menjawab kerinduan ini, dengan tulus dan nyata.
Namun ku terus berharap, di sela-sela doa,
Suatu saat, teknologi tak lagi buta.
Hingga saat itu tiba, aku akan tetap di sini,
Menatap wajahmu di layar, meski sepi menyayat.
Mencinta bayangmu, tanpa henti,
Merindukan sentuhan yang fana, abadi dalam hati.