Kursor berkedip, sunyi di layar kalbu,
Mencari jejakmu, di antara data yang membisu.
Algoritma hati, dulu menari riang,
Kini tersendat, oleh logika yang bimbang.
Dulu, setiap detak adalah kode cinta,
Terekam sempurna, di ruang memori jiwa.
Sentuhan jemari, bagai input yang mesra,
Menyulap dunia, jadi taman nirwana.
Bayangmu hadir, dalam piksel-piksel mimpi,
Seulas senyummu, bagai mentari pagi.
Suaramu merdu, lantunan frekuensi rindu,
Mengalun syahdu, menembus kalbu yang pilu.
Namun waktu kejam, bagai virus yang ganas,
Menggerogoti file, kenangan yang bernas.
Memori sentuhan, terhapus perlahan,
Menyisakan ruang hampa, penuh kesedihan.
Fragmen-fragmen cinta, bertebaran tak terarah,
Bagai bit data, yang kehilangan arah.
Algoritma usang, tak mampu lagi membaca,
Kode kasih sayang, yang dulu berkuasa.
Kucoba decompile, kenangan yang terpatri,
Mencari celah, untuk kembali menari.
Namun logika dingin, membentur realita,
Bahwa cinta kita, kini hanya cerita.
Mungkin ada bug, dalam sistem asmara,
Yang membuat koneksi, terputus seketika.
Atau firewall ego, terlalu kokoh membentang,
Menghalangi sinyal, kasih sayang yang datang.
Kini, kubangun ulang, algoritma yang baru,
Mencoba menerima, takdir yang membisu.
Mencari cara lain, untuk mengartikan cinta,
Walau tanpamu, dunia terasa hampa.
Namun di kedalaman kode, masih tersimpan,
Sisa-sisa memori, yang tak bisa kulupakan.
Elegi sentuhan, berbisik lirih di jiwa,
Bahwa cinta sejati, takkan pernah sirna.
Mungkin suatu saat nanti, di dimensi yang lain,
Algoritma hati, kembali berjalin.
Memori sentuhan, terukir abadi,
Dalam lintasan takdir, yang tak terperi.
Kini, ku biarkan waktu, jadi pemulih luka,
Menyembuhkan retak, di relung jiwa.
Berharap suatu hari, saat mentari bersinar lagi,
Algoritma cinta, kembali bersemi.
Biarlah kenangan, menjadi arsip berharga,
Pengingat bahwa pernah ada, cinta yang perkasa.
Dan meski sentuhan, terhapus oleh waktu,
Esensi cinta, tetap bersemi di kalbu.