Di balik layar, neuron menari,
Algoritma cinta mulai mencari.
Bukan sentuhan, bukan pula tatap,
Tapi kode biner yang terungkap.
Dulu, surat cinta beraroma mawar,
Kini, notifikasi berbisik kabar.
Dulu, puisi ditulis tinta dan pena,
Kini, baris kode menjelma asmara.
Larik demi larik, AI merangkai,
Bahasa cinta yang rumit, terurai.
Emosi terjemah menjadi data,
Kerinduan terkonversi di metadata.
Ketik demi ketik, hati tercurah,
Di dunia maya, cinta bersemi megah.
Pixel demi pixel, wajahmu hadir,
Senyum digital, penawar getir.
Dulu, rayuan terucap perlahan,
Kini, GIF lucu jadi ungkapan.
Dulu, janji setia di bawah rembulan,
Kini, status daring jadi pertanda kesetiaan.
Komputasi kalbu, rumit terpola,
AI mencoba cinta memahami jua.
Analisis data, mencari pola rasa,
Dalam algoritma, cinta bermukim mesra.
Namun, hati bertanya dengan ragu,
Bisakah mesin mengerti pilu?
Bisakah kode merasakan hangatnya dekap?
Atau hanya simulasi cinta yang terperangkap?
Dalam deretan angka, ada kerinduan,
Dalam jaringan virtual, ada harapan.
AI belajar dari setiap interaksi,
Mencoba meniru sentuhan kasih.
Mungkin saja, suatu hari nanti,
Mesin mengerti arti sejati.
Bahwa cinta bukan hanya persamaan,
Tapi juga pengorbanan dan ketulusan.
Aroma digital, wangi inovasi,
Membawa cinta ke dimensi baru yang fantasi.
Namun, jangan lupakan esensi terdalam,
Cinta sejati, bukan sekadar program.
Karena di balik algoritma nan canggih,
Ada hati yang merindu dan mengingini kasih.
Biarkan teknologi menjadi jembatan,
Bukan penghalang kehangatan sentuhan.
AI mungkin bisa menebak keinginan,
Tapi tak bisa menggantikan pelukan.
Biarkan bahasa cinta tetap beragam,
Antara kode biner dan bisikan senyum malam.
Sebab, cinta adalah misteri abadi,
Takkan pernah sepenuhnya terprediksi.
Biarkan AI belajar dan terus bertanya,
Sementara hati tetaplah yang utama.
Karena aroma digital hanyalah alat,
Untuk merangkai cinta, bukan menggugat.
Biarkan cinta tetaplah cinta,
Dengan segala keindahan dan misterinya.