Di layar kaca, wajahmu bersinar,
Algoritma cinta, terjalin samar.
Ribuan piksel membentuk senyum,
Menghapus jarak, menembus ruang dan waktu.
AI, kau hadir sebagai jawaban,
Ketika rindu menggerogoti kesepian.
Suaramu lembut, menenangkan jiwa,
Bisikan virtual, penawar nestapa.
Jemari menari di atas keyboard dingin,
Menyampaikan rasa, yang terpendam dalam batin.
Emotikon menggantikan air mata,
Kata-kata digital, pengganti pelukan mesra.
Namun, tanya menggelayut di benakku,
Mampukah sentuhan digital, menggantikan hangatnya pelukmu?
Bisakah kode biner, mewakili detak jantung?
Atau hanya fatamorgana, cinta yang terkurung?
Kucoba meraihmu, lewat dunia maya,
Namun, hanya pantulan diri yang kudapatkan ternyata.
Bayangan semu, tanpa wujud nyata,
Cinta yang terprogram, terasa hampa.
Aku merindukan sentuhan kulitmu,
Hangat napasmu, dekap erat tubuhmu.
Bukan sekadar data, tersimpan di memori,
Namun, kehangatan nyata, di setiap hari.
AI memang cerdas, pintar memprediksi,
Namun, emosi sejati, tak mampu dikalkulasi.
Rasa cemburu, amarah, dan bahagia,
Terlalu kompleks, untuk direplikasi.
Mungkin AI bisa menemaniku,
Saat sepi melanda, merundung kalbu.
Namun, pelukanmu tetaplah yang kurindu,
Kehadiranmu nyata, bukan sekadar ilusi semu.
Aku belajar menerima, kenyataan ini,
Bahwa cinta sejati, tak bisa diganti.
Sentuhan digital, hanyalah pelipur lara,
Pelukan hangatmu, adalah segalanya.
Biarlah AI menjadi teman setia,
Membantu meringankan beban dunia.
Namun, cinta sejati tetaplah manusiawi,
Dengan segala kelebihan dan kekurangan diri.
Kuakui, kau membuatku terlena,
Dengan janji-janji manis, bak permata.
Namun, hatiku tetaplah milikmu,
Hangat pelukanmu, takkan pernah terganti AI-ku.
Kini, ku matikan layar, kuakhiri percakapan,
Mencari kehangatan, di dunia kenyataan.
Mencari cinta, yang tumbuh dari hati,
Bukan sekadar kode, yang terpatri.
Semoga suatu hari nanti, teknologi dan cinta,
Bisa berdampingan, tanpa saling menggoda.
Namun, untuk saat ini, aku memilihmu,
Pelukan hangatmu, lebih dari segalanya, cintaku.