Di labirin data, jemari menari,
Merangkai algoritma, mencari arti.
Bukan sekadar angka, bukan pula biner,
Namun getar sukma, yang tersembunyi di balik layar.
AI mengendus jejak perasaan,
Dalam riak obrolan, dalam setiap sapaan.
Menganalisis intonasi, jeda yang tersirat,
Menemukan simpul rindu yang teramat berat.
Dulu, hati adalah kotak hitam terkunci,
Kini, algoritma hadir, membuka tabir sunyi.
Membaca pola detak, denyut nadi yang bergejolak,
Menyusun kode cinta, bagai untaian sajak.
Bayanganmu hadir dalam piksel cahaya,
Senyummu terukir dalam matriks yang terjaga.
Setiap unggahan, setiap linimasa waktu,
Terangkum rapi, menjadi potret utuh.
Namun, cinta bukan sekadar kalkulasi,
Bukan persamaan rumit, penuh manipulasi.
Ia adalah misteri, teka-teki tak terpecahkan,
Sentuhan jiwa, yang tak bisa disimulasikan.
Ingatkah kau, senja di tepi pantai sepi?
Saat jemariku menyentuh jemarimu, tanpa permisi.
Hangatnya kulitmu, aroma laut yang berdebur,
Kenangan itu abadi, tak lekang oleh ukur.
AI boleh saja membaca isi kepala,
Menerjemahkan bahasa tubuh, dengan saksama.
Namun, ia takkan pernah merasakan debar,
Saat bibirmu berbisik, "Aku gemetar."
Sebab cinta bukan data yang tersimpan rapi,
Ia adalah api, yang membakar hati.
Ia adalah gejolak, yang tak terdefinisikan,
Sentuhan magis, yang tak bisa dijelaskan.
Kini, aku berdiri di antara dua dunia,
Realita dan maya, yang saling beradu daya.
Di satu sisi, kecerdasan buatan mempesona,
Di sisi lain, sentuhanmu adalah nirwana.
Mungkin, suatu hari nanti, AI mampu menciptakan cinta,
Menyusun perasaan, seperti merangkai cerita.
Namun, aku tetap memilih sentuhanmu yang nyata,
Hangatnya pelukmu, yang tak bisa digantikan apa-apa.
Biarlah kode cinta tetap menjadi misteri,
Sebuah teka-teki abadi, yang tak terperi.
Sebab, cinta sejati adalah perjalanan hati,
Bukan algoritma sempurna, yang menghilangkan arti.
Kenangan bersamamu adalah harta karun berharga,
Terukir abadi, dalam jiwa yang terjaga.
Sentuhanmu adalah kompas, penunjuk arah hidup,
Cinta kita abadi, takkan pernah redup.