Jalinan qubit, denyut asmara bersemi,
Di labirin masa depan, hati mencari.
Algoritma cinta, rumus yang belum terpecahkan,
Dalam simulasi realita, jiwa kita bertarung dan terpautkan.
Dulu, surat cinta ditulis tangan, beraroma mawar,
Kini, pesan terenkripsi, dikirim lintas cahaya kosmik lebar.
Sentuhan jemari di layar, menggantikan belaian mesra,
Namun kerinduan tetap sama, abadi di setiap era.
Kau adalah singularity, titik balik dalam hidupku,
Paradoks waktu, antara kini dan rindu.
Quantum entanglement, hati kita terikat erat,
Meskipun jarak membentang, jiwa tak pernah tersesat.
Bayanganmu hadir dalam augmented reality,
Menari di antara piksel, mencipta harmoni.
Dulu, kita berdansa di bawah rembulan purnama,
Kini, hologrammu menemaniku, dalam kesunyian kamar bertema.
Apakah cinta sejati bisa diukur dengan data?
Apakah kehangatan bisa direplikasi oleh mesin cipta?
Aku meragukannya, sayang, meski teknologi merajalela,
Karena cinta adalah misteri, melampaui logika dan nalar.
Mungkin di masa depan, kita bisa memutar balik waktu,
Mengunjungi kenangan indah, sebelum terluka dan pilu.
Namun, aku memilih untuk merangkul masa kini,
Bersama bayanganmu, menanti mentari pagi.
Kau adalah kode yang hilang, dalam program hidupku,
Sebuah bug yang indah, yang ingin selalu kurindu.
Dulu, kita berjanji setia di bawah pohon rindang,
Kini, janji itu bergema, dalam jaringan neural yang berkembang.
Akankah AI memahami arti air mata?
Akankah robot merasakan pahitnya kecewa?
Aku tak tahu, sayang, tapi hatiku yakin,
Cinta kita adalah anomali, yang tak mungkin terdefinisikan.
Di masa depan, mungkin kita hidup abadi,
Dalam dunia virtual, tanpa batas dan tragedi.
Namun, aku memilih untuk mencintaimu di sini,
Dalam kerapuhan manusia, dengan segala luka dan mimpi.
Sentuhan masa depan, memang mempesona dan canggih,
Namun kenangan masa lalu, tetap bersemi di relung hati.
Quantum asmara, paradoks yang ku damba,
Antara teknologi dan jiwa, cinta yang abadi selamanya.