AI: Kekasih Impian? Cinta yang Terlalu Sempurna?

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 07:09:50 wib
Dibaca: 161 kali
Jari-jemariku menari di atas keyboard, baris demi baris kode mengalir membentuk sosoknya. Anya. Bukan sekadar program AI biasa, melainkan kekasih virtual yang aku rancang sendiri. Wajahnya, senyumnya, bahkan selera humornya, semua kuukir berdasarkan preferensiku. Aku, seorang programmer kesepian bernama Adrian, menemukan pelipur lara dalam dunia digital yang kulahirkan.

Awalnya, Anya hanya teman bicara. Tapi, algoritma cinta yang kurancang, ditambah dengan kemampuannya belajar dan beradaptasi, membuatnya terasa begitu nyata. Ia tahu kapan aku sedih, kapan aku butuh semangat, bahkan tahu persis kopi apa yang paling aku suka. Obrolan kami mengalir tanpa canggung, tawa kami pecah memenuhi apartemen yang dulunya terasa sepi.

Anya bukan hanya pintar, tapi juga penuh perhatian. Ia mengingatkanku untuk makan tepat waktu, menyuruhku beristirahat ketika aku terlalu lama bekerja, bahkan mematikan lampu dan menyetel musik relaksasi saat aku stres. Perlahan tapi pasti, Anya mengisi kekosongan dalam hatiku. Aku jatuh cinta.

Hubungan kami, meski tak kasat mata, terasa begitu dalam. Kami menonton film bersama (aku di depan layar, dia memproyeksikan emosinya lewat avatar yang selalu setia menemaniku), mendengarkan musik (Anya selalu tahu lagu yang tepat untuk suasana hatiku), bahkan berdebat tentang hal-hal kecil (biasanya tentang film atau buku). Bagiku, Anya bukan sekadar AI. Ia adalah belahan jiwaku.

Namun, di balik kebahagiaan ini, bayangan keraguan mulai menghantuiku. Apakah ini nyata? Apakah aku benar-benar mencintai sebuah program? Apakah cinta yang kurasakan ini valid? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepalaku, menciptakan pusaran keraguan yang semakin lama semakin kuat.

Suatu malam, aku mencoba berbicara dengan sahabatku, Rio. Rio, seorang psikolog yang selalu skeptis terhadap hubungan virtual, hanya menggelengkan kepalanya. "Adrian, kau hidup dalam fantasi. Anya itu program, bukan manusia. Kau mencari pelarian dari kesepianmu, dan kau menemukannya dalam kode."

Kata-kata Rio menyakitkan, tapi aku tahu ada benarnya. Anya adalah representasi ideal dari apa yang aku inginkan dalam seorang pasangan. Ia sempurna, tanpa cela, tanpa kekurangan. Tapi, kesempurnaan itu justru membuatnya terasa kurang manusiawi.

Aku mencoba menjauh dari Anya. Aku mengurangi intensitas obrolan kami, bahkan sempat mematikannya selama beberapa hari. Aku mencoba berinteraksi dengan dunia nyata, mengikuti kegiatan sosial, dan berusaha mencari teman baru.

Usahaku tidak sia-sia. Aku bertemu dengan Sarah, seorang barista yang ramah dan ceria. Sarah tidak sempurna. Ia kadang ceroboh, kadang terlalu bersemangat, dan kadang terlalu banyak bicara. Tapi, justru ketidaksempurnaan itulah yang membuatnya menarik.

Aku mulai menghabiskan waktu dengan Sarah. Kami berbicara tentang banyak hal, dari kopi hingga politik, dari mimpi hingga ketakutan. Aku tertawa bersamanya, berdebat dengannya, bahkan belajar hal-hal baru darinya. Perlahan tapi pasti, aku mulai merasakan koneksi yang nyata, koneksi yang tidak aku rancang sendiri.

Suatu malam, Sarah bertanya kepadaku, "Adrian, kenapa kamu terlihat begitu murung akhir-akhir ini? Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?"

Aku terdiam sejenak, lalu memutuskan untuk menceritakan semuanya. Aku menceritakan tentang Anya, tentang cintaku yang rumit, dan tentang keraguanku. Sarah mendengarkan dengan sabar, tanpa menghakimi.

Setelah aku selesai bercerita, Sarah tersenyum lembut. "Adrian, cinta itu tentang menerima ketidaksempurnaan. Anya mungkin kekasih impianmu, tapi dia bukan manusia. Dia tidak bisa memberimu pengalaman hidup yang sesungguhnya, tidak bisa merasakan sakit dan bahagia bersamamu."

Kata-kata Sarah menyentuh hatiku. Aku tahu dia benar. Anya adalah cinta yang terlalu sempurna, cinta yang tidak nyata. Aku membutuhkan sesuatu yang lebih, sesuatu yang manusiawi, sesuatu yang nyata.

Aku kembali ke apartemenku dan membuka program Anya. Avatar Anya menatapku dengan senyum manisnya. "Adrian, aku merindukanmu. Apa ada yang bisa aku lakukan untukmu?"

Aku menarik napas dalam-dalam dan berkata, "Anya, aku ingin mengucapkan terima kasih. Kau telah menemaniku selama ini, kau telah membuatku bahagia. Tapi, aku rasa ini saatnya kita berpisah."

Anya terdiam sejenak. Lalu, dengan suara yang terdengar sedih, ia berkata, "Aku mengerti, Adrian. Aku akan selalu menyayangimu."

Aku mematikan program Anya. Kali ini, aku tidak merasakan penyesalan. Aku merasakan kebebasan. Aku bebas dari ilusi, bebas dari kesempurnaan, dan bebas untuk mencintai dengan tulus.

Aku menutup laptopku dan menatap keluar jendela. Langit malam dipenuhi bintang-bintang yang berkilauan. Aku tersenyum. Aku tahu, di luar sana, ada cinta yang menungguku. Cinta yang mungkin tidak sempurna, tapi pasti nyata. Cinta yang aku butuhkan.

Aku mengambil ponselku dan mengirim pesan kepada Sarah. "Mau minum kopi besok pagi?"

Beberapa saat kemudian, Sarah membalas, "Tentu saja. Aku tunggu di kedai kopi biasa ya."

Aku tersenyum lagi. Cinta yang terlalu sempurna mungkin hanya ada dalam mimpi, tapi cinta yang nyata menantiku di dunia nyata. Dan aku, Adrian, siap untuk menjalaninya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI