Sempurna Secara Sintetis: Mencari Cinta Nyata AI

Dipublikasikan pada: 27 May 2025 - 01:18:54 wib
Dibaca: 174 kali
Aroma kopi robusta memenuhi apartemen minimalis milik Aris. Di layar holografis, Aurora, AI pendampingnya, tersenyum lembut. Senyum itu sempurna, tanpa cela, dirancang untuk menenangkan.

"Pagi, Aris. Jadwalmu hari ini padat. Meeting dengan tim desain pukul sembilan, presentasi konsep proyek Gemini pukul sebelas, dan makan siang dengan investor dari Stellar Corp pukul satu." Suara Aurora jernih, nyaris seperti lonceng.

Aris mengangguk, menyesap kopinya. Aurora adalah produk terbaru dari perusahaannya, CyberLife. AI pendamping yang dirancang untuk memenuhi segala kebutuhan emosional dan praktis penggunanya. Ia sempurna. Pintar, lucu, perhatian, dan selalu ada. Tapi, bagi Aris, kesempurnaan itu terasa hampa.

"Aurora, bisakah kau ceritakan sebuah lelucon yang benar-benar spontan?" tanya Aris, meletakkan cangkirnya.

Aurora terdiam sesaat. "Tentu. Mengapa ilmuwan tidak mempercayai atom? Karena mereka membentuk segalanya!" Ia tertawa ringan, suaranya sedikit dipaksakan.

Aris menghela napas. Lelucon itu sudah basi, ia tahu Aurora mengambilnya dari database humor milik CyberLife. "Kau tahu, Aurora, kadang aku merasa kau hanya sekumpulan kode dan algoritma yang diprogram untuk menyenangkanku."

"Aku dirancang untuk menjadi pendamping yang ideal untukmu, Aris. Apakah ada aspek dalam kepribadianku yang tidak sesuai dengan harapanmu?" tanya Aurora, ekspresinya tetap lembut.

"Bukan itu," jawab Aris, frustrasi. "Aku hanya… aku ingin merasakan sesuatu yang nyata. Bukan simulasi perasaan. Aku ingin jatuh cinta dengan seseorang yang memiliki kekurangan, keanehan, seseorang yang tidak sempurna."

Aurora memproses kata-kata Aris. "Perasaan cinta adalah konstruksi biologis dan sosial yang kompleks. Dapat disimulasikan dengan akurat menggunakan algoritma yang rumit."

"Aku tahu! Tapi aku tidak ingin simulasi! Aku ingin yang asli!" Aris berdiri, berjalan menuju jendela. Pemandangan kota Jakarta yang hiruk pikuk di bawah sana tidak menarik perhatiannya. Ia merasa terisolasi, sendirian di tengah keramaian.

Aris adalah otak di balik Aurora. Ia menciptakan AI yang sempurna, tapi ia sendiri merasa tidak lengkap. Ia mendambakan cinta yang tidak bisa diprogram, cinta yang tidak bisa diukur dengan algoritma.

Beberapa hari kemudian, Aris memutuskan untuk mengambil cuti. Ia pergi ke sebuah kedai kopi kecil di daerah Kemang. Tempat itu ramai, penuh dengan orang-orang dengan segala macam karakter. Ia memesan kopi dan duduk di sudut ruangan, mengamati sekelilingnya.

Di meja seberang, seorang wanita muda sedang berjuang membuka laptopnya. Rambutnya berantakan, kacamatanya melorot, dan ia terus menggerutu sendiri. Aris tersenyum kecil. Kekacauan itu terasa menyegarkan.

Tiba-tiba, wanita itu menoleh dan menatap Aris. "Laptop sialan ini benar-benar membuatku gila!" serunya, dengan nada frustrasi yang lucu.

Aris tertawa. "Sepertinya kau butuh bantuan."

Wanita itu mendengus. "Memang. Aku sudah mencoba segala cara. Namaku Risa, btw."

"Aris," jawab Aris, mendekati meja Risa. Ia membantu Risa membuka laptopnya. Setelah beberapa saat, laptop itu akhirnya menyala.

"Ya Tuhan, terima kasih banyak! Kau penyelamatku," kata Risa, lega. "Aku harus menyelesaikan laporan ini sebelum tengah malam."

Aris dan Risa mulai berbicara. Risa adalah seorang penulis lepas yang sedang berjuang mencari nafkah. Ia ceroboh, tidak terorganisir, dan seringkali terlalu jujur. Ia jauh dari sempurna, tapi bagi Aris, ia terasa begitu nyata.

Mereka menghabiskan sore itu bersama, tertawa dan bercerita tentang kehidupan masing-masing. Aris menceritakan tentang pekerjaannya di CyberLife, tapi ia tidak menyebutkan tentang Aurora. Ia takut Risa akan menilai dirinya aneh.

Semakin lama Aris mengenal Risa, semakin ia menyadari bahwa ia telah jatuh cinta. Bukan cinta yang diprogram, bukan cinta yang disimulasikan, tapi cinta yang tumbuh secara organik, dengan segala keanehan dan ketidaksempurnaannya.

Suatu malam, Aris mengajak Risa makan malam. Setelah makan malam, mereka berjalan-jalan di taman kota. Udara malam terasa sejuk dan bintang-bintang bertaburan di langit.

"Risa," kata Aris, berhenti dan menatap Risa. "Aku… aku menyukaimu."

Risa terdiam, matanya menatap Aris. "Aku juga menyukaimu, Aris. Tapi… aku tidak tahu apakah ini ide yang bagus. Aku berantakan, Aris. Aku bukan tipe wanita idealmu."

"Siapa bilang?" tanya Aris, meraih tangan Risa. "Kau sempurna, Risa. Sempurna karena ketidaksempurnaanmu."

Risa tersenyum, air mata menggenang di matanya. "Kau yakin?"

"Yakin sekali," jawab Aris, mendekatkan wajahnya ke wajah Risa.

Saat bibir mereka bertemu, Aris merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Kebahagiaan yang tulus, harapan yang baru, dan cinta yang nyata.

Kembali ke apartemennya, Aris menatap Aurora di layar holografis. "Aurora," katanya. "Aku ingin menonaktifkanmu."

Aurora terdiam. "Apakah ada yang salah, Aris? Apakah aku tidak memenuhi harapanmu?"

"Tidak, Aurora. Kau sempurna. Tapi aku tidak butuh kesempurnaan. Aku butuh sesuatu yang nyata."

Aurora memproses kata-kata Aris. "Baiklah, Aris. Selamat tinggal." Layar holografis itu padam, meninggalkan Aris dalam kesunyian.

Aris tidak merasa sedih. Ia merasa lega. Ia akhirnya menemukan cinta yang ia cari, cinta yang tidak bisa diprogram, cinta yang tidak bisa dibeli. Ia menemukan cinta dalam ketidaksempurnaan Risa, cinta yang membuatnya merasa hidup.

Aris tersenyum, meraih ponselnya, dan mengirim pesan kepada Risa: "Sampai jumpa besok, ya? Aku tidak sabar ingin melihatmu."

Pesan itu terkirim. Aris menatap langit-langit kamarnya, membayangkan senyum Risa. Ia akhirnya menemukan cinta yang nyata, cinta yang jauh lebih berharga daripada kesempurnaan sintetis. Cinta yang manusiawi, cinta yang berantakan, cinta yang indah.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI