Hujan deras mengguyur Tokyo, membasahi neon-neon yang berpendaran di jalanan Shibuya. Akira, dengan jaket tebal dan headphone menutupi telinganya, berjalan cepat menuju sebuah kafe kecil yang tersembunyi di antara gedung-gedung tinggi. Ia terlambat. Seperti biasa.
Di dalam kafe, di balik jendela berembun, duduk seorang wanita. Rambutnya hitam legam tergerai indah, dan matanya yang teduh menatap keluar, seolah menanti seseorang. Namanya Hana, dan bagi Akira, dia adalah pusat dari alam semestanya.
"Maaf aku terlambat," ucap Akira terengah-engah, menarik kursi di hadapan Hana.
Hana tersenyum lembut. "Tidak apa-apa, Akira. Aku baru saja sampai." Bohong. Dia sudah menunggu hampir setengah jam, tapi dia tidak ingin membuat Akira merasa bersalah.
Mereka memesan kopi panas dan kue stroberi favorit Hana. Suasana kafe yang hangat dan tenang menjadi oase di tengah hiruk pikuk kota. Namun, ada yang berbeda malam ini. Akira terlihat lebih gelisah dari biasanya. Jarinya terus mengetuk-ngetuk meja, dan tatapannya sesekali melayang ke arah layar ponselnya.
"Ada apa, Akira? Kamu terlihat tidak fokus," tanya Hana khawatir.
Akira menghela napas. "Aku sedang mengerjakan proyek baru. Sangat ambisius, dan jujur saja, sedikit membuatku kewalahan."
Akira adalah seorang programmer berbakat yang bekerja di sebuah perusahaan teknologi terkemuka. Dia dikenal karena keahliannya dalam mengembangkan kecerdasan buatan (AI). Proyek barunya ini adalah menciptakan AI pendamping yang mampu memberikan dukungan emosional kepada penggunanya. Ia menamakannya "Aether".
"AI pendamping? Seperti Tamagotchi versi dewasa?" canda Hana.
Akira tersenyum tipis. "Bukan hanya itu. Aether dirancang untuk memahami emosi manusia, memberikan respon yang sesuai, bahkan memberikan saran dan dukungan. Bayangkan, Hana, seseorang yang selalu ada untukmu, mendengarkan keluh kesahmu, dan memberikan cinta tanpa syarat."
Hana mengerutkan kening. "Kedengarannya… menyeramkan."
"Kenapa?" tanya Akira bingung.
"Karena cinta itu tidak bisa diprogram, Akira. Cinta itu tentang sentuhan, tatapan mata, tawa bersama, dan air mata yang saling menghapus. Cinta itu tentang ketidaksempurnaan dan kejujuran. Apakah AI bisa memberikan semua itu?"
Akira terdiam. Ia tahu Hana benar. Tapi, ia begitu terobsesi dengan proyeknya, ia ingin membuktikan bahwa AI bisa menjadi solusi bagi kesepian dan kekosongan yang dialami banyak orang di dunia modern ini.
"Aku tahu itu sulit, Hana. Tapi aku percaya, dengan teknologi yang tepat, kita bisa menciptakan sesuatu yang benar-benar istimewa," jawab Akira dengan nada membela diri.
Malam itu, percakapan mereka berlanjut dengan debat panjang tentang etika dan moralitas AI. Hana berargumen bahwa AI tidak bisa menggantikan kehangatan sentuhan manusia, sementara Akira berusaha meyakinkan Hana bahwa Aether bisa menjadi teman yang setia dan suportif.
Hari-hari berikutnya, Akira semakin tenggelam dalam pekerjaannya. Ia menghabiskan waktu berjam-jam di depan komputer, menulis kode dan menguji algoritma. Ia melupakan makan, tidur, dan bahkan melupakan Hana.
Hana merasa semakin jauh dari Akira. Ia rindu dengan tatapan mata Akira yang dulu penuh cinta, rindu dengan sentuhan tangannya yang selalu membuatnya merasa nyaman. Ia rindu dengan Akira yang dulu mencintainya, bukan Akira yang mencintai kode dan algoritma.
Suatu malam, Hana memutuskan untuk mengunjungi kantor Akira. Ia ingin berbicara dengannya, ingin mengingatkannya tentang apa yang penting dalam hidup.
Ia menemukan Akira tertidur di depan komputernya, dengan layar yang menampilkan kode-kode rumit. Hana menghampirinya, mengusap rambutnya dengan lembut.
"Akira," bisik Hana.
Akira terbangun dengan terkejut. Ia menatap Hana dengan mata sayu.
"Hana? Sedang apa kamu di sini?" tanya Akira bingung.
"Aku merindukanmu, Akira," jawab Hana lirih. "Aku merindukan kita."
Akira terdiam. Ia menundukkan kepalanya, merasa bersalah karena telah mengabaikan Hana.
"Aku tahu, Hana. Aku minta maaf. Aku terlalu fokus pada proyek ini," ucap Akira dengan nada menyesal.
Hana menggenggam tangan Akira. "Aku tidak ingin Aether menggantikanku, Akira. Aku ingin kamu mencintaiku, bukan menciptakan penggantiku."
Akira mengangkat kepalanya dan menatap Hana dalam-dalam. Ia melihat kesedihan di matanya, dan ia tahu bahwa ia telah melakukan kesalahan besar.
"Kamu benar, Hana. Aether tidak akan pernah bisa menggantikanmu. Tidak ada algoritma yang bisa menggantikan kehangatan sentuhanmu, senyummu, atau cintamu," ucap Akira dengan suara bergetar.
Akira memeluk Hana erat-erat. Ia merasakan kehangatan tubuhnya, aroma rambutnya, dan detak jantungnya. Ia merasakan cinta yang selama ini ia abaikan.
"Aku mencintaimu, Hana. Maafkan aku," bisik Akira.
Hana membalas pelukan Akira. Ia merasa lega dan bahagia. Ia tahu bahwa cintanya pada Akira masih utuh, dan ia percaya bahwa Akira akan kembali padanya.
Malam itu, Akira memutuskan untuk meninggalkan proyek Aether untuk sementara waktu. Ia ingin fokus pada hubungannya dengan Hana, ingin menghabiskan waktu bersamanya, dan ingin membuktikan bahwa cintanya lebih kuat dari algoritma apa pun.
Hujan di luar sudah reda. Bulan purnama bersinar terang di langit. Akira dan Hana berjalan bergandengan tangan di jalanan Shibuya, menikmati kebersamaan mereka. Mereka tahu bahwa masa depan tidak pasti, tapi mereka yakin bahwa dengan cinta dan kejujuran, mereka bisa menghadapi segala tantangan.
Algoritma memang bisa memprediksi dan menganalisis data, tapi ia tidak bisa merasakan kehangatan sentuhan, kelembutan cinta, dan kekuatan sebuah hubungan yang dibangun atas dasar kepercayaan dan pengertian. Cinta itu lebih dari sekadar kode dan algoritma. Cinta itu adalah bahasa hati yang universal, dan tidak bisa digantikan oleh AI mana pun.