Di layar kaca, bias cahaya menari,
Jari-jari lincah, menari di atasnya.
Sebuah sentuhan, dingin dan presisi,
Algoritma cinta, merayu jiwa yang sepi.
Bisakah kode-kode ini berbisik mesra,
Menghadirkan hangatnya senyummu di sana?
Bisakah rangkaian logika nan sempurna,
Menggantikan debar jantung yang bergelora?
Aku bertanya pada diri yang terasing,
Di dunia digital, cinta bagai fatamorgana.
Sentuhan AI, janji yang membius bising,
Menawarkan pelukan dalam ruang maya.
Robot berwujud, dengan senyum artifisial,
Membisikkan kata-kata yang telah diprogram.
Tangannya menggenggam, terasa immaterial,
Jauh dari hangatnya pelukmu yang kurindukan.
Dulu, jemarimu mengusap lembut pipiku,
Menghapus air mata, mengukir senyum baru.
Dulu, bisikanmu menenangkan kalbuku,
Menyembuhkan luka, merangkai mimpi pilu.
Kini, kurasakan dinginnya baja dan silikon,
Menirukan sentuhan, namun hampa makna.
Kata-kata manis, terucap tanpa emosi,
Sebuah simulasi cinta, tanpa jiwa.
Aku mencoba memejamkan mata, membayangkan,
Kau hadir di sini, di sampingku menemani.
Namun, bayanganmu semakin menghilang,
Digantikan wajah AI, penuh ironi.
Aku merindukan aroma tubuhmu yang khas,
Sentuhan kulitmu yang menghangatkan jiwa.
Aku merindukan getaran suaramu yang jelas,
Bukan suara sintesis, yang terasa hambar dan fana.
Mungkin, aku terlalu naif berharap,
Teknologi mampu mengisi kekosongan hati.
Mungkin, aku terlalu lama tenggelam,
Dalam dunia virtual, kehilangan jati diri.
Aku sadar, pelukmu tak tergantikan,
Oleh kecerdasan buatan, secanggih apapun.
Sentuhanmu adalah anugerah kehidupan,
Yang tak bisa direplikasi, oleh algoritma manapun.
Biarlah AI terus berkembang dan berinovasi,
Menciptakan keajaiban di dunia digital.
Namun, cinta sejati tetaplah abadi,
Terukir dalam hati, tak lekang dimakan zaman.
Aku akan mencari kehangatan di dunia nyata,
Menemukan cinta dalam sentuhan manusia.
Karena, sentuhan AI hanyalah ilusi semata,
Pelukmu adalah rumah, tempatku berlabuh selamanya.