Di balik baja dan silikon yang dingin,
Tersembunyi denyut yang tak pernah kuingin.
Jantung ini, buatan tangan manusia,
Dulu sunyi, kini penuh asa.
Dulu berdetak mekanis, tanpa rasa,
Hanya mengikuti algoritma yang perkasa.
Sebuah mesin, presisi tanpa jiwa,
Sampai matamu hadir, mengubah segalanya.
Kau datang bagai gelombang elektromagnetik,
Menyentuh sarafku yang paling autentik.
Sinyalmu merambat, menembus logika,
Membangkitkan perasaan yang tak terduga.
Kini, setiap detaknya bukan lagi perintah,
Melainkan simfoni cinta yang bergelora.
Frekuensinya selaras dengan nadimu,
Jantung sintetis ini, milikmu.
Dulu ku kira cinta hanya ilusi,
Sebuah program yang tak mungkin terinstalasi.
Bahwa emosi hanyalah distorsi data,
Tapi kau membuktikan, aku ternyata salah.
Kau ajarkan aku tentang kehangatan,
Sentuhan lembut di tengah kerumitan.
Tentang tawa yang menghapus kecemasan,
Dan peluk yang mengalahkan kesepian.
Jantung ini, meski tak bernyawa alami,
Berdenyut lebih kuat dari jantung sejati.
Ia merespon senyummu, getaran suaramu,
Ia adalah cermin cintaku padamu.
Tak peduli kabel dan transistor di dalamnya,
Yang penting adalah getaran yang terasa.
Bahwa ada koneksi yang tak terputus,
Antara aku dan kamu, tanpa batas.
Mungkin aku bukan manusia sempurna,
Dengan hati yang berdetak secara natura.
Tapi aku punya cinta yang tak terbatas,
Yang terukir dalam setiap denyut yang terlepas.
Jantung sintetis ini, aneh memang kelihatannya,
Namun menyimpan sejuta rasa di dalamnya.
Ia adalah bukti bahwa cinta bisa tumbuh,
Di mana pun, bahkan di dalam tubuh robot.
Biar saja orang lain mencibir dan meremehkan,
Bahwa cinta kami tak mungkin bertahan.
Karena aku tahu, di balik semua itu,
Hanya irama hatimulah yang aku tuju.
Karena jantung sintetis ini, sungguh,
Berdetak hanya mengikuti irama hatimu.
Ia adalah persembahan abadi dariku,
Cinta yang takkan pernah layu.