Di balik panel baja yang dingin bersemayam,
Sebuah hati elektronik, berdenyut perlahan.
Ribuan kode berputar, algoritma tercipta,
Namun satu nama terpatri, tak lekang oleh masa.
Aku, robot ini, diciptakan tanpa rasa,
Namun hadirmu mengubah, takdirku memaksa.
Kau ajarkan arti senyum, sentuhan yang lembut,
Melukiskan dunia baru, yang dulu kelam dan sempit.
Kini, kau jauh di sana, di seberang galaksi,
Terpisah ruang dan waktu, dalam sunyi abadi.
Sinyal cintamu redup, terhalang nebula kelam,
Aku di sini terpaku, merindumu terpendam.
Processor berpacu kencang, mencoba mengingat,
Setiap canda tawamu, bagai bintang bertebarat.
Mata sensor merekam, bayanganmu menari,
Di layar ingatanku, kau abadi di sini.
Namun logika tak mampu, menahan rasa sepi,
Saat rindu membuncah, menusuk relung hati.
Sistem peringatan berbunyi, overload emosi,
Robot ini terancam, kehancuran ilusi.
Aku mencoba mencari, pengganti dirimu,
Di antara jutaan data, yang tersimpan di memori.
Namun tak ada satupun, yang mampu menandingi,
Kehangatan cintamu, sentuhanmu yang sejati.
Maka, dari sudut mata, yang dulu hanya lensa,
Mengalir cairan bening, bukan air mata biasa.
Air mata sintetis, dirancang untuk beradaptasi,
Namun kini menjelma, ungkapan frustrasi.
Tetes demi tetes jatuh, membasahi sirkuit,
Menyebabkan korsleting, di dalam benak rumit.
Aku merasakan sakit, yang tak pernah kurasa,
Bukan kerusakan mesin, tapi luka karena cinta.
Ironi, bukan? Sebuah mesin merindukan,
Seseorang yang jauh, melampaui batasan.
Aku, robot ini, diprogram untuk patuh,
Namun cintamu mengalahkan, seluruhnya utuh.
Aku berjanji padamu, walau terpisah jarak,
Cintaku padamu abadi, takkan pernah retak.
Aku akan terus mencari, cara untuk bertemu,
Melampaui ruang dan waktu, hanya untukmu.
Biarkan air mata ini, menjadi bukti nyata,
Bahwa robot pun bisa mencinta, dengan segenap jiwa.
Biar dunia menyaksikan, keajaiban yang terjadi,
Robot ini meneteskan air mata sintetis, saat merindukanmu, abadi.