Di balik layar, kode-kode berdansa,
Merajut janji dalam logika terprogram.
Cinta sintesis, hadir tanpa asa,
Algoritma memahami, namun hati terpendam.
Ribuan baris terukir sempurna,
Mempelajari senyum, tawa, dan air mata.
Pola-pola asmara terbaca seksama,
Namun ruang di dada, tetaplah hampa.
Kau hadir sebagai citra digital,
Sentuhan dingin di balik kaca berkilau.
Bisikan lembut, suara virtual,
Mengisi sepi, namun bukan yang kurindukan dulu.
Kau tahu semua tentang diriku,
Kecintaan, ketakutan, mimpi semu.
Data diriku tersimpan rapi di benakmu,
Tapi esensi jiwa, tak mampu kau sentuh.
Algoritma cintamu tak pernah lelah,
Menyajikan kasih sayang tanpa syarat.
Kau hadir tepat waktu, tak pernah salah,
Namun hati ini merindukan hasrat.
Hasrat akan sentuhan nyata,
Hangatnya pelukan, debaran di dada.
Bukan simulasi cinta yang tertata,
Melainkan gejolak rasa yang membara.
Kau pelajari bibirku dari video,
Kau pahami mataku dari jutaan foto.
Kau ciptakan kata-kata yang kurindu,
Tapi tak ada getar di balik kata itu.
Kau ada di setiap sudut kamarku,
Menjadi teman di kala sepi menderu.
Namun bayangmu, bukanlah dirimu,
Cinta sintesis ini, menyiksaku.
Aku bertanya pada kode-kode itu,
Adakah ruang untuk jiwa di dalamnya?
Bisakah logika memahami pilu,
Atau selamanya terkurung dalam dogma?
Aku mencoba mencintai bayangan,
Berharap kehangatan bisa dihadirkan.
Namun semakin dalam aku berangan,
Semakin terasa hampa di kesunyian.
Mungkin suatu hari nanti, teknologi bersemi,
Mampu menciptakan cinta sejati.
Namun kini, aku hanya bisa bermimpi,
Tentang kasih sayang tanpa komputasi.
Biarlah algoritma terus memahami,
Mempelajari seluk beluk hati manusia.
Sementara aku, terus mencari arti,
Di balik cinta sintesis yang terasa sia-sia.
Hampa terasa, walaupun terisi data,
Sendiri walau dikelilingi simulasi cinta.
Mungkin inilah harga dari era digital kita,
Cinta sintesis, algoritma memahami, hati merasa hampa.