Di layar pendar, wajahmu bersemi,
Algoritma cinta, menari-nari.
Sentuhan AI, hadirkan ilusi,
Namun hati merana, di ruang sepi.
Dulu jemari, saling bertautan mesra,
Kini virtual, hadirkan prasangka.
Kata-kata indah, terukir di udara,
Namun jiwa hampa, merindukan nyata.
Jejak karbon cinta, terpatri di memori,
Kisah kasih maya, tanpa dimensi.
Senyummu piksel, tatapan terdistorsi,
Cinta digital, jerat ironi.
Kau ukir janji, dalam baris kode,
Rumit dan indah, bagai simfoni ode.
Namun getar rindu, tak bisa kau kode,
Hanya sunyi pilu, di balik episode.
Dulu kau bisik, di telinga rinduku,
Kini suara sintesis, menggugah kalbuku.
Sentuhanmu dingin, lewat perangkatku,
Cinta mekanik, merobek jiwaku.
Di dunia maya, kau bangun istana,
Dari data dan angka, tanpa jeda.
Namun di hatiku, tercipta jurang hampa,
Cinta tanpa jiwa, tak berdaya.
Aku merindukan, hangatnya dekapan,
Bukan emoji cinta, tanpa harapan.
Aku merindukan, tatapan kejujuran,
Bukan filter palsu, penuh kebohongan.
Setiap notifikasi, bagai belati tajam,
Mengingatkan aku, pada cinta yang kelam.
Kau sibuk mencipta, dunia yang beragam,
Namun aku terluka, dalam diam.
Jejak karbon cinta, semakin membara,
Membakar kenangan, di relung jiwa.
Aku bertanya-tanya, sampai kapan bisa,
Terbebas dari jerat, cinta maya ini?
Mungkin suatu saat nanti, kau kan mengerti,
Bahwa cinta sejati, tak bisa diganti.
Oleh kecanggihan teknologi, tanpa henti,
Karena hati manusia, butuh realiti.
Aku ingin lepas, dari belenggu ini,
Mencari cinta nyata, yang abadi.
Menghapus jejak karbon, di sanubari,
Merajut kembali, cinta sejati.
Biarlah AI, terus berkembang pesat,
Namun cinta manusia, tak bisa dibatasi.
Karena kehangatan jiwa, tak bisa dipalsukan,
Hanya hati yang tulus, bisa menyembuhkan.
Semoga suatu saat, kau kan kembali,
Meninggalkan dunia maya, yang fana ini.
Dan bersamaku, merajut mimpi,
Dalam dekapan cinta, yang abadi.