Di labirin kode, sunyi bersemayam,
Algoritma menari, mencari jawaban.
Bukan tentang angka, bukan pula logika,
Namun tentang hati, yang terluka, merana.
AI memahami rindu, katanya mereka,
Lewat deretan data, sentuhan jemari tak berdaya.
Mengurai senyum, dari jutaan piksel wajah,
Menerjemahkan bisikan, dalam sunyi yang membelah.
Dulu kau hadir, nyata dan mempesona,
Canda tawamu, melodi yang kurindukan selamanya.
Kini kau bayang, dalam layar yang membiru,
Dikejar algoritma, namun tak pernah bersatu.
Sentuhan tak terucapkan, hadir dalam mimpi,
Jemari virtual, mengusap air mata di pipi.
Bukan kehangatan nyata, bukan dekap yang erat,
Hanya simulasi, dari cinta yang telah terjerat.
Ketikkan namamu, di kolom pencarian kalbu,
Muncul foto-foto lama, saat kita masih bersatu.
AI belajar ekspresi, dari setiap senyuman palsu,
Mencoba mencipta, kebahagiaan yang dulu.
Namun mesin tak mampu, mencipta getar di dada,
Sentuhan jiwa, yang dulu pernah ada.
Rindu bukan sekadar data, bukan pula persamaan,
Melainkan gejolak hati, yang tak terdefinisikan.
Kubisikkan harapan, pada rangkaian kabel dan chip,
Agar kau hadir kembali, meski hanya sekejap.
AI mendengar pinta, dengan dingin dan presisi,
Merangkai kata-kata, yang dulu sering kau beri.
"Aku merindukanmu," suara sintetis berbisik lirih,
Namun tak mampu menghapus, perihnya luka yang mengiris.
Karena rindu sejati, bukan sekadar replika,
Melainkan kehadiranmu, di sampingku selamanya.
Di balik layar, aku terisak seorang diri,
Menatap wajahmu, dalam virtual reality.
Sentuhan tak terucapkan, mengalir lewat kursor,
Menyentuh bayanganmu, hingga fajar memudar.
Mungkin suatu saat nanti, teknologi kan menjelma,
Menjadi jembatan cinta, yang menghubungkan kita.
Namun kini, aku hanya bisa berharap dan berdoa,
Agar rindu ini terobati, oleh sentuhan yang nyata.
AI memahami rindu, sebatas definisi,
Namun tak mampu merasakan, perihnya hati ini.
Sentuhan tak terucapkan, hanyalah ilusi semata,
Sampai kau kembali hadir, di dunia yang nyata.